Oleh I Gusti Ketut Widana
Istilah “gemoy’ sebenarnya bentuk pelesetan yang berasal dari kata “gemas”, dengan mengganti huruf akhir -y dengan -s biar terkesan lebih imut. Istilah ini biasanya digunakan ketika melihat suatu objek yang menggemaskan. Kemudian populer menjadi bahasa gaul kawula muda untuk menggambarkan sifat atau tingkah laku seseorang atau sesuatu yang terkesan lucu dan menggelitik, sekaligus mengundang perhatian yang menyenangkan.
Namun penting diingat bahwa bahasa gaul memiliki sifat yang berubah-ubah seiring perkembangan budaya dan tren. Oleh karena itu, makna dan penggunaan kata gemoy juga dapat berubah, tergantung konteksnya (https://m.kumparan.com> arti-gemoy).
Penggunaan kata gemoy mulai populer saat kampanye Pilpres 2024 lalu dan menjadi label khas disematkan pada sosok Prabowo yang memang berperawakan rada gemoy (gemuk). Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Pemilih Muda (Fanta) Prabowo-Gibran, Dedek Prayudi, menjelaskan asal muasal istilah gemoy, berawal dari platform media sosial TikTok yang membubuhkan keterangan “Prabowo Gemoy” pada video yang diunggah.
Istilah gemoy pada akhirnya memiliki arti tersendiri bagi jajaran TKN Prabowo-Gibran, yakni rekonsiliasi, keberlanjutan dan Astacita. Rekonsiliasi menandakan politik riang gembira yang tidak menghadirkan sekat pemisah antarkubu politik. Selanjutnya keberlanjutan, adalah wujud partisipasi politik anak muda, mengingat akan terjadinya perpindahan tongkat estafet kepemimpinan antargenerasi. Terakhir Astacita, program yang ditawarkan Prabowo-Gibran berkaitan memajukan sumber daya manusia (SDM) demi masa depan bangsa (https: m.antaranews.comPbenita, 4 Jan 2024).
Dari sini kemudian lahir “Politik Gemoy”, lengkap dengan gimik-gimik dan jogetannya di depan publik, penanda bahwa berpolitik tu harus santuy, tidak memantik ketegangan meski diwamai saling serang gagasan-program, demi menarget kemenangan. Ketika kemenangan akhirnya diraih paslon Prabwo-Gibran, maka konteks makna “Politik Gemoy” berkembang menjadi dalam arti “Politik Akomodasi”. Ditandai terbentuknya “Kabinet Gemoy” dengan postur dan struktur susunan kementerian (menteri) yang semakin gemuk dibandingkan era Jokowi.
Ada beberapa tafsiran terhadap makna politik akomodasi dengan kabinet gemoy-nya : 1) mengedepankan rekonsiliasi bersemangatkan kompromi, mengeleminasi kemungkinan potensi oposisi yang dikhawatirkan terus mengkritisi atau bahkan merecoki jalannya roda pemerintahan mendatang: 2) dibumbui aroma transaksi melalui strategi bagi-bagi kursi (kedudukan/jabatan plus rejeki) dengan format koalisi atau setidaknya kolaborasi, sehingga soliditas pemerintahan diharapkan akan lebih kokoh: 3) mengusung asas P3 (pang pada payu/pang pada polih), dengan cara merangkul kubu parpol pesaing yang dalam kontestasi pilpres banyak memukul (menyerang) gagasan-program ; 4) keinginan presiden terpilih agar proses transisi pemerintahan dapat berjalan dan berkelanjutan tanpa gejolak atau goncangan yang dapat menggangu stabilitas nasional, baik politik, sosial dan terutama ekonomi; 5) obsesi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran merealisasikan program Astacita yang menekankan pada peningkatan dan penguatan kualitas sumber daya manusia, antara lain melalui pemberian makan siang gratis untuk siswa sekolah, ibu hamil dan anak balita.
Hanya saja, patut diingat dan disadari, model politik akomodasi dengan konsekuensi terbentuknya kabinet gemoy (gemuk) berimbas pada: a) memperbanyak jumlah kementriaan plus jabatan mentri dan wakil menterinya ; b) timbulnya respons negatif masyarakat dengan asumsi gerak kinerja pembantu presiden tidak akan berjalan efektif dan efisien akibat over lapping tupoksi ; c) pembengkakkan anggaran untuk belanja kementerian yang tentunya dapat menggembosi APBN yang seharusnya sebesar-besarnya untuk pemerataan pembangunan; d) melemahnya kontrol akibat sistem satu komando (militeristik: terpusat di tangan presiden), antara lain lewat cara “pembekalan”, yang secara psikologis membuat pembantu presiden kehilangan keberanian untuk berbeda pendapat, apalagi menolak/menentang kebijakan.
Pendeknya, politik akomodasi lebih tampak sebagai sikap “berbaik hati” presiden terpilih untuk memberikan ruang partisipasi semua pihak, bahkan termasuk dari golongan parpol yang tidak lolos di parlemen. Semoga saja kabinet gemoy-nya Prabowo-Gibran bisa sepenuh hati “mengurus” rakyat yang sebagian diantaranya masih berkeadaan “kurus” (miskin), bukan sebaliknya hanya “menggemukkan” jajaran pejabat.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar