Tanah Bali Sudah Rusak, Sulit Swasembada Pangan

2 weeks ago 9
Sebuah alat berat untuk pembangunan sebuah proyek berada di dekat lahan sawah. Lahan sawah yang beralih fungsi menjadi bangunan menyebabkan Bali sulit mewujudkan swasembada pangan. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia mencapai swasembada pangan dalam tiga hingga empat tahun mendatang. Untuk mewujudkannya, ia meminta seluruh kementerian untuk mendukung Kementerian Pertanian sebagai penggerak utama dalam upaya tersebut. Hal itu sangat sulit dicapai di Bali karena tanah Bali sudah rusak dan lahan sawah banyak beralih fungsi.

Akademisi Pertanian Universitas Udayana, I Made Sarjana, Senin (28/10) mengatakan, pemerintah sedang menggencarkan program swasembada pangan, salah satunya dengan mencetak lahan pertanian baru (food estate). Namun, kondisi tanah di Bali rusak karena tingkat kesuburannya berkurang akibat unsur-unsur kimia yang menumpuk.

Dikatakannya, untuk memenuhi target swasembada pangan diperlukan kebijakan yang nyata terkait keberpihakan kepada petani. Mulai dari penyediaan sarana produksi (pupuk, bibit/benih, obat-obatan), pengurangan impor beras dan produk pertanian yang bisa digenjot produksinya di dalam negeri.

Selain itu perlu penguatan kapasitas petani dalam hal mengelola usaha tani secara teknis dan juga memasarkan hasilnya. “Jika keberpihakan ke petani nyata, akan positif menuju realisasi swasembada pangan. Sedangkan untuk Bali perlu dicabut pengajuan izin investasi vila aplikasi OSS yang memicu alih fungsi lahan yang tidak terkendali,” ujarnya.

Sarjana menambahkan selain itu melibatkan subak dalam proses jual-beli tanah pertanian produktif (sawah) sehingga alih fungsi lahan dapat dikendalikan. “Dengan sawah lestari, barulah memungkinkan pencapaian swasembada pangan,” ujarnya.

Sementara Akademisi Agribisnis Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gede Ustriyana mengatakan, swasembada pangan khususnya beras bisa sukses dilaksanakan di era Soeharto, karena gerakannya bersifat masif dan dilakukan semua lembaga secara bersama-sama. “Upaya untuk melakukan itu besar-besaran pada saat bersamaan,” ujarnya.

Diakuinya, beras adalah komoditas politik. Di tingkat ASEAN, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar menjadi target pasar. Negara lain dengan teknologi maju, mampu meningkatkan produktivitas, sementara Indonesia dinilai belum mampu sehingga impor beras dari luar negeri terus terjadi.

Sementara upaya pemerintah mewujudkan swasembada pangan dengan membuka lahan pertanian baru (food estate) memerlukan waktu dan teknologi. “Oleh sebab itu pada pemerintahan ini dalam bentuk food estate bisa saja terwujud asal didukung semua pihak dan koordinasi yang baik. Banyak yang kita harapkan dari situ walaupun sekarang ini banyak kendala,” ujarnya.

Sementara di Bali sendiri, dalam pengembangan pertanian mendukung swasembada pangan untuk mencapai target nasional tidak memungkinkan, karena beberapa lahan pertanian di Bali melampaui kapasitas kesuburannya.

“Karena unsur-unsur kimia sudah menumpuk di lahan itu. Jadi untuk mengembalikan unsur hara, perlu waktu lagi. Sehingga produktivitas padi sawah sulit ditingkatkan, karena kondisi tanahnya yang luar biasa rusak sehingga perlu pendekatan teknologi yang tinggi salah satunya food estate,” ujarnya.

Di samping memang alih fungsi lahan di Bali untuk fasilitas pariwisata semakin masif terjadi. (Citta Maya/balipost)

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|