GUNUNGKIDUL, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tengah perbukitan yang menjulang tinggi di Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Padukuhan Wotawati, Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, ada sebuah fenomena alam yang menjadikan dusun ini berbeda dan unik.
Di sini, matahari seolah punya jadwal berbeda. Warga Dusun Wotawati menyaksikan pagi yang lebih lambat dan sore yang datang lebih cepat, membuat mereka hanya menikmati sinar matahari sekitar tujuh jam setiap harinya.
Letak dusun yang tersembunyi di balik perbukitan dan berada di lembah aliran Sungai Bengawan Solo Purba membuat sinar matahari sulit menembus wilayah ini.
Setiap pagi, sinar matahari baru menerangi dusun sekitar pukul 08.00 WIB, sementara menjelang pukul 15.00 WIB, matahari kembali tersembunyi di balik bukit-bukit tinggi. Lurah Kalurahan Pucung, Estu Driyono, menjelaskan bahwa fenomena itu bahkan bisa lebih singkat pada musim hujan, ketika cuaca mendung menambah singkatnya waktu disinari matahari.
Perjalanan menuju Wotawati tidak mudah. Berjarak sekitar 75 km dari pusat Kota Yogyakarta, perjalanan memakan waktu sekitar 2,5 hingga 3 jam melalui jalan menantang yang penuh tanjakan dan turunan curam, serta dikelilingi hutan jati.
Meski demikian, saat memasuki dusun, suasana hangat dan asri langsung terasa. Rumah-rumah penduduk tertata rapi, dikelilingi perbukitan yang menambah keindahan alam pedesaan yang tenang.
Estu mengisahkan bahwa dusun ini berada di bekas aliran Sungai Bengawan Solo Purba, sungai yang dulu mengalir hingga Pantai Sadeng sebelum pengangkatan tektonik mengubah alirannya ke arah Jawa Timur.
Saat ini, Wotawati menjadi satu-satunya area bekas sungai tersebut yang dijadikan permukiman, sementara di tempat lain umumnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Sebagian besar warga dusun ini adalah petani yang memanfaatkan kesuburan tanah bekas aliran sungai purba tersebut. Selain bertani, ada pula yang bekerja sebagai nelayan. Total, ada sekitar 450 jiwa yang tinggal di Wotawati, tersebar di empat RT, dan hampir semua warga adalah penduduk asli yang hidup turun-temurun di sini.
Mbah Katimin, seorang warga berusia 70 tahun, merupakan salah satu saksi perjalanan dusun ini.
“Tinggal di sini sudah turun-temurun dari kakek buyut. Saya lahir di sini, menikah di sini, punya anak, jadi sudah 70 tahun saya tinggal di sini,” katanya dengan senyum bangga.
Mbah Katimin mengatakan bahwa warga telah terbiasa dengan fenomena alam ini, dan mereka malah merasa bersyukur karena hal ini membuat kehidupan di dusun terasa berbeda. Menurutnya, pola waktu yang berbeda ini justru mengatur kehidupan warga dengan baik. Tanpa jam pun, mereka sudah tahu kapan waktunya pulang ketika sore mulai datang lebih awal.
Fenomena unik ini juga menarik perhatian banyak orang. Banyak pengunjung yang datang karena penasaran dengan dusun yang memiliki jam matahari tersendiri. Bagi warga Wotawati, kondisi ini menjadi berkah yang mereka syukuri. Sebuah kehidupan yang diatur oleh alam, di mana siang lebih singkat namun kehangatan selalu terasa di tengah masyarakat yang hidup rukun dan saling menjaga kekeluargaan.