Laporan lebih jauh menunjukkan, pelaku pasar yang masih mengandalkan serangkaian langkah yang mungkin akan diambil Trump yang akan mengerek kinerja perekonomian AS secara signifikan. Optimisme tersebut kemudian menghadirkan aksi akumulasi yang berlanjut hingga mengangkat indeks lebih tinggi.
Hingga sesi perdagangan berakhir, Indeks DJIA naik 0,69 persen di 43.293,13, sementara indeks S&P500 melonjak 0,1 persen di 6.001,35 dan indeks Nasdaq menanjak 0,06 persen di 19.298,76. Namun optimisme yang masih bertahan di Wall Street terlihat kembali sulit berlanjut di sesi perdagangan Asia hari kedua pekan ini, Selasa 12 November 2024.
Sikap pelaku pasar di Asia cenderung masih berhati-hati dalam menjalani sesi kali ini. Gerak Indeks dalam rentang terbatas dengan kecenderungan melemah akhirnya menjadi pilihan. Hingga sesi perdagangan sore ditutup, Indeks Nikkei (Jepang) merosot 0,4 persen di 39.376,09.
Pantauan memperlihatkan, kinerja indeks Nikkei yang sempat berupaya konsisten menjejak zona penguatan moderat di sesi pagi. Namun tekanan jual membuat Indeks Nikkei menjamah zona merah berulangkali. Kinerja lebih suram terjadi pada indeks ASX200 (Australia) yang konsisten menapak zona pelemahan. ASX200 kemudian menutup sesi dengan turun moderat 0,13 persen di 8.255,6. Sedangkan Indeks KOSPI (Korea Selatan) menjalani masa sial dengan runtuh tajam 1,94 persen di 2.482,57.
Laporan dari jalannya sesi perdagangan di Asia juga diwarnai dengan ambruknya harga minyak dunia dalam dua hari terakhir. Harga minyak untuk jenis WTI kini terpantau di kisaran $68-an per barrel setelah rontok lebih dari 6 persen dalam dua hari sesi perdagangan terakhir. Harga minyak bahkan sempat menginjak kisaran $67,75 per barrel di titik termurahnya hari ini.
Kesuraman harga minyak dunia dilatari oleh sentimen dari prospek suram permintaan China yang sedang terdera kelesuan ekonomi secara serius. Terlebih, paket stimulus yang barusan diluncurkan sebesar $1,4 milyar oleh pemerintahan Xi Jinping dinilai terlalu jauh dari memadai untuk menangani kelesuan tersebut.
Sentimen kian suram oleh lonjakan nilai tukar mata uang Dolar AS akibat kemenangan Trump. Untuk dicatat, komoditas minyak merupakan salah satu komoditas yang dipatok dengan Dolar AS. Melonjaknya nilai tukar Dolar AS, dengan sendirinya membuat harga minyak terlalu mahal bagi pengguna Dolar AS. Harga minyak akhirnya semakin runtuh tak tertahankan.
Serangkaian sentimen yang berkembang di pasar global tersebut terkesan dimaksimalkan investor di Jakarta untuk mengangkat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan tajam. Pantauan memperlihatkan, IHSG yang konsisten menjejak zona penguatan di sepanjang sesi perdagangan.
Pelaku pasar di Jakarta mendapatkan suntikan sentimen domestik dari rilis data penjualan ritel yang dilaporkan tumbuh 4,8 persen pada September lalu. Catatan menunjukkan, rilis data penjualan ritel kali ini yang tak terlalu mendapatkan sambutan dari kinerja IHSG. Pantauan RMOL menunjukkan, gerak IHSG yang tak terlalu beranjak usai rilis data tersebut dengan konsisten bertahan di zona penguatan moderat hingga sesi perdagangan pagi ditutup.
IHSG kemudian menutup sesi hari ini dengan menguat tajam 0,76 persen di 7.321,98. Gerak menguat IHSG terlihat beranjak lebih tajam usai pertengahan sesi perdagangan sore, setelah sejumlah besar bursa utama Asia menutup sesi. Sejumlah besar saham unggulan berhasil mencetak kenaikan dalam rentang bervariasi. Saham-saham unggulan yang mencetak kenaikan diantaranya: BBRI, BBCA, BMRI, ADRO, INDF, PTBA, ISAT, SMGR, ITMG, PGAS, LSIP, JPFA serta UNTR dan UNVR.
Sekalipun demikian, lonjakan IHSG kali ini terlihat masih jauh dibanding besaran penurunan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. IHSG oleh karenanya secara keseluruhan masih tekor.
Rupiah Merosot Tajam
Kinerja lebih suram terjadi pada nilai tukar Rupiah. Setelah melemah tipis di sesi perdagangan kemarin, Rupiah Kembali mengalami tekanan jual lebih keras di sesi hari ini. Hingga ulasan ini disunting, Rupiah tercatat diperdagangkan di kisaran Rp15.790 per Dolar AS atau merosot signifikan 0,74 persen. Sentimen domestik dari rilis pertumbuhan penjualan ritel sama sekali tak merubah pola gerak Rupiah. Hal sama berlaku pada sentimen runtuhnya harga minyak dunia, yang semestinya mampu memberikan sokongan bagi Rupiah.
Kemerosotan Rupiah kali ini tak lepas dari sentimen buram dari kinerja mata uang utama dunia di pasar global. Pantauan menunjukkan, nilai tukar mata uang utama dunia seperti: Euro, Poundsterling, Dolar Australia dan Dolar Kanada yang semakin terhempas di sesi perdagangan Senin malam waktu Indonesia Barat. Pelaku pasar berspekulasi pada langkah dan kebijakan protektif Trump di masa depan yang dikhawatirkan semakin kukuh.
Keruntuhan mata uang utama dunia tersebut masih bertahan hingga sesi perdagangan sore ini di Asia. Akibatnya, nilai tukar mata uang Asia turut terhajar tekanan jual. Pantauan lebih jauh menunjukkan, seluruh mata uang Asia yang ambruk di zona merah dengan dipimpin oleh Baht Thailand dan Rupiah.
Pantauan lebih rinci menunjukkan, Bath Thailand yang berulangkali runtuh hingga kisaran 0,9 persen di sesi perdagangan sore ini di Asia. Sentimen global yang dilatari oleh kemenangan Trump masih menjadi motor utama kemerosotan mata uang Asia, namun pelaku pasar kini menantikan sentimen tambahan dari rilis data inflasi AS untuk menentukan arah gerak lebih jauh.