Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) Hendra Wiguna memberikan tanggapan bahwa pentingnya penguatan desa pesisir dari dampak perubahan iklim dalam mewujudkan visa tersebut.
“Asta Cita ke 6, perlu diperkuat dari sisi ketahanan iklim, yang mana akan terwujud bilamana sudah ada upaya mitigasi dan adaptasi desa pesisir terhadap perubahan iklim. Strategi yang komprehensif untuk hal tersebut perlu dihadirkan, tentunya dihasilkan dari pelibatan masyarakat pesisir sejak dari perencanaannya hingga evaluasi strategi,” ujar Hendra dalam keterangan yang diterima redaksi, Minggu, 3 November 2024.
Lanjut dia, perubahan iklim menjadi persoalan bersama, tidak hanya desa pesisir di Indonesia, melainkan masyarakat dunia.
Namun Indonesia menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sebanyak 199 kabupaten/kota yang terletak di wilayah pesisir terancam dampak perubahan iklim.
Selain itu terdapat 40 kabupaten/kota mempunyai indeks kerentanan pesisir yang sangat tinggi, dimana kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim menyebabkan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir akan kehilangan tempat tinggal.
Sambung Hendra, 12.510 desa pesisir yang ada di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mendorong kemajuan Indonesia, mulai dari potensi sektor perikanannya hingga lingkungannya.
“Sektor perikanan dapat dioptimalkan dengan penambahan nilai produk, sehingga meningkatkan penghasilan dan penyerapan tenaga kerja. Kemudian konservasi mangrove yang akan menciptakan peluang usaha wisata bagi masyarakat pesisir, baik penambahan nilai produk perikanan maupun konservasi mangrove ini keduanya memiliki semangat keberlanjutan,” jelasnya.
“Kendati demikian perlu banyak hal yang dibereskan di desa pesisir, sehingga potensi tersebut dapat menghadirkan pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan,” ungkapnya.
Menurut Hendra, dalam upaya penguatan desa pesisir dari perubahan iklim, pertama, mendorong setiap desa pesisir memiliki roadmap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Kedua, penegakan dan pengawasan yang nyata terhadap setiap perusakan ekosistem pesisir dan laut. Baik yang dilakukan perorangan, maupun korporasi besar seperti industri yang acap kali membuang limbah ke laut.
“Ketiga, mempermudah akses pendidikan dan keterampilan bagi masyarakat pesisir. Kegiatan usaha di laut yang dilakoni oleh nelayan semakin berisiko, oleh karena itu perlu adanya peningkatan keterampilan nelayan untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim,” terangnya.
Kemudian keempat, kata Hendra, penting bagi pemerintah melakukan usaha pengendalian dan mengurangi resiko akibat dari perubahan iklim.
“Kelima, menjadikan desa pesisir sebagai sentral dan lumbung perikanan. Sehingga tenaga kerja di pesisir, terutama pemuda akan terserap. Hal ini akan meminimalisir terjadinya urbanisasi,” imbuhnya.
Di tengah semangat swasembada pangan dan pemenuhan gizi, Kata Hendra, ganjil rasanya jika persoalan perubahan iklim dan sektor kelautan perikanan tidak menjadi perhatian. Maka, perlu ada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pesisir serta penjamin pemulihan dan perlindungan wilayah laut dan pesisir.
Terkait dengan pemerintah desa, harapannya ada insentif dari pemerintah pusat kepada desa pesisir yang memiliki roadmap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Adapun hal lainnya, Hendra memberikan catatan tentang belum semuanya memiliki pengetahuan tentang perubahan iklim.
“Mengingat kapasitas pemahaman pemerintah desa dan masyarakat yang belum seluruhnya mumpuni terkait dengan perubahan iklim, sebagai upaya penguatan peranan desa dalam agenda ini perlu pelibatan berbagai stakeholder. Meliputi masyarakat pesisir, akademisi dari kampus atau profesional, serta komunikasi yang baik pemerintah daerah dan pusat. Sehingga roadmap adaptasi dan mitigasi yang dihasilkan lebih komprehensif dan memakmurkan masyarakat pesisir,” pungkasnya.