Presiden Hu Jianto, 2017, (hal. 238), secara tegas menekankan pentingnya mempromosikan budaya populer China untuk mempengaruhi seluruh dunia. Xi Jinping sendiri, membuat perencanaan 5 tahunan untuk mendorong industri budaya China melalui berbagai sektor seperti percetakan, film, animasi, serial TV dan panggung hiburan.
China Soft Power adalah strategi baru China untuk melakukan hegemoni budaya terhadap bangsa lain. Joseph S. Nye, 1990, mengajukan konsep ini. Soft power merujuk pada kultur dan ekonomi. Menurut Nye, "Hard power is like brandishing carrots or sticks, soft power is more like a magnet". (Hal. 15). Untuk itu China menginfiltrasi budaya mereka ke Asia Tenggara dengan mendirikan Confucian Institute (CIs) dan The Overseas Chinese Affairs Office of State Council (ACAO).
Tahun 2018 ACAO dikontrol langsung Central Comite Partai Komunis China, namun seiring negara mereka lebih kuat dari orang-orang China di perantauan, lembaga ini dilepaskan pada lembaga setingkat kementerian.
Infiltrasi budaya Cina tersebut dilakukan melalui penyebaran Bahasa Mandarin, kerjasama pendidikan dan seni kepada seluruh negara Asia Tenggara. Dibidang pendidikan, saat ini Indonesia telah mengirimkan lebih banyak pelajaran ke China dibandingkan dengan Amerika dan Australia. Selain itu, Universitas China ekspansi keberbagai negara. Malaysia misalnya membangun Xiamen University Malaysia. Pada tahun 2023, dari 7000 mahasiswa terdapat 4109 orang Malaysia, 2200 orang China dan sisanya dari berbagai dunia lain.
Selain itu China mengirimkan tenaga tenaga guru bahasa untuk menjadikan Bahasa Mandarin sebagai bahasa utama. Di Jawa Timur, pesantren Nurul Jadid, yang berafiliasi ke NU, merupakan salah satu networking penyebaran Bahasa Mandarin (hal. 161). Pondok ini juga merupakan pionir dalam mengirimkan santri-santri belajar ke China. Klaim Hadist Rasulullah bahwa "Mencari Ilmu Sampai Ke Negeri China", merupakan dasar ideologis untuk hal tersebut. Alumni santri dari sekolah ke China ini nantinya akan menjadi pembela keberadaan dan eksistensi China di Indonesia, khususnya (hal. 171).
Di Filipina, perasaan bangga telah belajar ke China oleh kalangan muda mereka diuraikan dalam bab 10 (hal. 181). Dalam sub judul "Assessment of China's Soft Power Among China-Educated Filipinos". Filipina, diteliti bagaimana image orang-orang Filipina sebelum adanya kerjasama pendidikan China-Filipina dan setelahnya. Tahap pertama kerjasama dimulai dengan kerjasama universitas, yang dijembatani Confucius Institute, sebuah lembaga di bawah kementerian pendidikan China. Universitas Sun Yat Sen, Hanban University, Fujian University dan Xiamen University dari China bekerjasama dengan 4 universitas Filipina.
Pendidikan Bahasa Mandarin ditujukan awalnya kepada komunitas China-Filipina melalui the Philippines Chinese Education Research, baik di Filipina maupun ke China. Kerjasama ini selanjutnya memberikan kesempatan pada pelajaran Filipina studi di China. Hasil penelitian ini menunjukkan kebanggaan orang-orang Filipina atas China semakin tinggi.
Negara-negara Asia Tenggara lainnya juga mengalami penetrasi, seperti Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Namun, di masyarakat China Yunan Thailand Utara, sekolah pro China Taiwan masih lebih dominan daripada pro China Peking. Sedangkan di Vietnam, kontrol Negara Komunis Vietnam atas dominasi kultural China dapat dikontrol. Khususnya, terkait hubungan politik Vietnam dengan China yang sering memanas.
Catatan:
Pertama, Pendekatan "Soft Power" melalui budaya, pendidikan, bahasa dan bantuan ekonomi telah membuat kehadiran China di Asia Tenggara tidak dapat terelakkan. Peningkatan kecintaan masyarakat kawasan Asia atas budaya China semakin besar, khususnya lagi setelah popular culture yang dilakukan menyentuh kalangan intelektual melalui film drama percintaan, bukan sekadar Kungfu.
Kedua, Dominasi budaya China di Indonesia telah berlangsung dalam. Pergeseran kecintaan masyarakat China Indonesia dan juga orang-orang asli Indonesia terhadap budaya China semakin tinggi. Ini ditunjukkan dengan pilihan pendidikan lanjutan ke China telah melampaui tujuan sebelumnya, yakni Amerika, Australia maupun eropa. Film-film asal China juga telah diterima dengan senang.
Soft power melalui pendidikan dan kebudayaan ini pada akhirnya akan lebih membuat Indonesia menjadi subordinat RRC ke depan. Hal ini terutama setelah ketergantungan politik dan dagang kita berkiblat ke sana.
Ketiga, Persoalannya adalah bagaimana memitigasi risiko hubungan Indonesia dan China. Budaya Indonesia yang kurang jelas arah pembangunannya tidak akan mampu melindungi kebanggaan ke Indonesia an, jika dominasi dan hegemoni China tidak terbendung lagi.
Keempat, Untuk itu, "Soft Power" China di Indonesia harus diimbangi dengan pembangunan kebudayaan Indonesia, khususnya Islam Indonesia, agar mampu menahan arus dominasi yang terjadi.
Kelima, Indonesia dan China dapat saja bekerjasama dalam kedaulatan yang seimbang. Hal ini perlu dipikirkan strateginya, mengapa di era pak Soeharto, kebanggaan ke Indonesia an bisa lebih tinggi dibandingkan saat ini, secara budaya?
Buku ini terbitan baru, 2024. Ada 16 penulis dari berbagai universitas di Asean. Diterbitkan oleh ISEAS, Singapore dan diedit oleh Leo Suryadinata.
*Penulis adalah Pendiri Sabang Merauke Circle