Nah, untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat, Pemerintah Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan target. Setiap tahun akan membangun 3 juta rumah. Target ini 3 kali lipat lebih besar dari target pemerintah sebelumnya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di era Presiden Joko Widodo, hanya mematok target 1 juta rumah setiap tahun. Dan, realisasi pada tiga tahun terakhir selalu melampaui target. Pada 2021, realisasi sebesar 1.105.707 unit. Pada 2022, naik menjadi 1.117.491 unit. Dan pada 2023, juga realisasi semakin bertambah menjadi 1.217.794 unit.
Kendati realisasi pembangunan rumah selalu di atas target setiap tahun, namun blacklog atau kekurangan rumah meningkat terus dalam satu dekade pemerintahan Jokowi. Menurut PT Bank Tabungan Negara (BTN), angka blacklog pada 2015, 11,4 juta. Pada 2023, angka blacklog justru naik menjadi 12,7 juta.
Ini artinya antara kenyataan bumi dengan keinginan langit pembangunan rumah sudah jauh tak berimbang. Kemampuan birokrasi pemerintah tak selaras dengan keinginan perumahan rakyat. Karena itu, bisa dipahami, Prabowo menetapkan target lebih besar.
Sekarang, target ambisius Prabowo tersebut berada pada duo aktivis, Maruarar Sirait dan Fahri Hamzah, sebagai Menteri dan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Bisakah target presiden tercapai?
Rupanya, gebrakan Ara -panggilan akrab Maruarar Sirait, sangat bagus. Salah satunya, wacana pemanfaatan tanah sitaan korupsi untuk dibangun perumahan rakyat.
Selain itu, Putra Sabam Sirait ini memberikan tanah seluas 2,5 hektare di Tangerang Banten untuk dibangun perumahan bersama Pengembang Agung Sedayu Group. Perumahan ini akan dibagi-bagikan gratis pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Mantan politikus PDI Perjuangan ini sangat yakin. Dengan pola gotong royong bersama perusahaan para pengembang kakap melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR), target 3 juta rumah akan terwujud.
Gebrakan Kementerian ini memberi secercah harapan, pembangunan perumahan rakyat punya prospek yang baik di era Prabowo. Namun secara jujur, problem fundamental perumahan rakyat kecil yang tunawisma belum tergambar dari rencana besar nomenklatur kementerian baru ini.
Indonesia, menurut World Economic Forum, berada di peringkat ke-11 dari negara-negara dengan jumlah populasi tunawisma terbesar.
Yaitu Nigeria (24,4 juta), Pakistan (20 juta), Mesir (12 juta), Suriah (6,5 juta), Kongo (5,3 juta), Bangladesh (5 juta), Kolombia (4,9 juta), Afghanistan (4,6 juta), Filipina (4,5 juta), Yaman (3,8 juta). Dan kesebelas, Indonesia (3 juta).
Memang, besarnya kasus tunawisma ini tak melulu terkait dengan ketersediaan rumah murah, tapi juga berhubungan dengan hal-hal yang lain. Seperti urbanisasi, Covid-19, kelangkaan lahan, pengangguran, ketimpangan, gaji yang stagnan, kemiskinan, kehilangan pekerjaan, penyitaan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya.
Maka dari itu, untuk mengatasi kasus tunawisma ini, membutuhkan sinergi kementerian/lembaga terkait. Prabowo sebagai top leader Kabinet Merah Putih yang paling berkompeten untuk merumahkan seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Apalagi, target 3 juta rumah masih jauh di bawah kebutuhan rumah nasional. Tak kurang dari 10 juta keluarga yang membutuhkan rumah setiap tahun. Sehingga, terjadi kekurangan sekitar 7 juta rumah. Inilah bumi langit papan Prabowo.
Selaku pemimpin tertinggi di Republik ini, Prabowo mesti membangun kepemimpinan orkestratif dalam memenuhi kebutuhan perumahan rakyat dengan melibatkan pemerintah, properti dan perbankan. Semoga!
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku "Kerikil Di Balik Sepatu Anies