Di tahun 1924, Hatem El Mekki dan keluarga pindah ke Tunisia, tanah kelahiran ayahnya yang saat ini merupakan protektorat Prancis. Hatem El Mekki meninggal dunia di Kartago, sebuah kota tua di Tunisia yang berada di sebelah timur Danau Tunis, pada 23 September 2003. Dia dikenang sebagai salah seorang pelukis hebat Tunisia sampai akhirnya hayatnya.
Karya-karyanya dipengaruhi oleh visualisasi hutan tropis Indonesia dan berbagai motif kain batik.
Kisah Hatem El Mekki ini disampaikan Duta Besar Republik Tunisia Mohamed Trabelsi ketika berbicara dalam kuliah umum Culture and Diplomacy Talks bertema “Tunisia: Culture and Global Politics” di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Dosen pengampu mata kuliah “Hubungan Internasional dan Kebudayaan” DR. Teguh Santosa menjadi host dalam kegiatan ini didampingi tiga mahasiswa terpilih sebagai spokespersons, yakni Nadia Putri Khairan, Athaya Raihan Nasywa Bramoro, dan Evan Andhika Suci.
Mengawali kegiatan, kelompok tari Seaflowers menampilkan tari-tarian bernuansa Tunisia dan Timur Tengah serta nyanyian yang memukau.
Selain kisah mengenai Hatem El Mekki, Dubes Trabelsi juga menceritakan kisah persahabatan kedua negara di era dekolonisasi seusai Perang Dunia Kedua. Di tahun 1951, pemimpin gerakan perlawanan Tunisia, Habib Bourguiba, datang ke Jakarta menemui Presiden Sukarno.
Dalam pertemuan di Jakarta, Presiden Sukarno berjanji memberikan dukungan pada upaya Tunisia melepaskan diri dari penjajahan Prancis. Perwakilan Tunisia juga hadir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar pada tahun 1955. Setahun kemudian, Tunisia berhasil mengakhiri pendudukan Prancis.
Sebagai penghormatan atas jasa Presiden Sukarno bagi kemerdekaan Tunisia, tanggal 6 Juni 2024 lalu nama Presiden Sukarno diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kawasan bergengsi di Tunis, Les Berges du Lac.
Sejarah 3.000 Tahun
Hal lain yang juga perlu dicatat bahwa sejarah Tunisia jauh sebelum akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20.
Sejarah Tunisia, sebut Dubes Trabelsi, setidaknya berasal dari 3.000 tahun lalu. Di tahun 814 Sebelum Masehi Ratu Elissa atau Dido dari Punisia mendirikan Kartago, diikuti Perang Punic yang berlangsung tiga kali pada 264-241 SM, 218-201 SM, dan 149-146 SM. Di masa ini, kekuasaan Tunisia sempat meluas hingga seluruh Laut Mediterania, sisi selatan Andalusia, Pegunungan Alps, sampai selatan Italia termasuk Sisilia, Sardinia, dan Corsica.
Perang Punic Ketiga membawa kehancuran bagi Kartago. Salah seorang Senator Romawi pada masa itu, Marcus Porcius Cato menggunakan slogan “Carthago Delenda Est” yang artinya “Binasakan Kartago” untuk membakar semangat tentara Romawi.
Bulan Mei lalu, saat merayakan ulang tahun ke-40, pendiri Meta dan Facebook Mark Zuckerberg mengenakan kaos bertuliskan kalimat yang dianggap warga Tunisia sebagai penghinaan itu. Mark Zuckerberg diserang netizen Tunisia dan dipaksa meminta maaf.
Di bawah kekuasaan Romawi, Kartago diletakkan sebagai provinsi dengan nama Africa atau Africus yang berarti negeri rumah-gua. Setelah Romawi takluk di abad ke-5, Tunisia memasuki Era Vandal dari 429-532 Masehi yang ditandai dengan kehadiran penguasa bangsa Jermanik.
Setelahnya Romawi kembali berkuasa di Era Bizantium. Romawi baru benar-benar menjauh dari Tunisia setelah Tunisia memasuki periode Islam sejak abad ke-9 M, diawali Dinasti Aghlabid atau Aghlabiyyah (800-909), Dinasti Fatimid atau Fatimiyah (909-972), Dinasti Sanhajjah (972-1160), Dinasti Almohades atau Muwahiddun (1160-1228), Dinasti Moravid atau Murabithun (1228), Dinasti Hafsid atau Hafsiyun (1228-1448).
Pada periode Islam inilah Tunisia mencatat kebangkitan di bidang ilmu pengetahuan. Universitas Ez Zitouna, misalnya, yang berdiri di akhir abad ke-7 dan awal ke-8 ikut mendorong berbagai perkembangan di Tunisia pada masa itu.
Selain itu, salah seorang ilmuwan dan sejarawan dari Tunisia, Ibnu Khaldun, yang lahir di tahun 1332 di era berikutnya dikenal luas di berbagai belahan dunia sebagai pendiri ilmu sosial dan ekonomi Islam.
Selanjutnya Tunisia memasuki era Ustmaniah dari 1228 sampai 1881 saat Perjanjian Bardo yang menempatkan Tunisia sebagai protektorat Prancis ditandatangani pemimpin Tunisia saat itu, Bey Muhammad As-Sidiq.
Setelah merdeka pada 1956, pejuang kemerdekaan Tunisia Habib Bourguiba dilantik sebagai Perdana Menteri dan setahun kemudian sebagai Presiden sampai tahun 1987 saat dokter menyatakan dirinya sakit dan tidak dapat melanjutkan kekuasaan.
Kondisi kesehatan Presiden Bourguiba yang menurun mendorong Perdana Menteri Zine El Abidine Ben Ali mengambil kekuasaan sebagai Presiden. Ia memimpin negara itu sampai revolusi yang terjadi pada 2011 di satu masa yang disebut Pergolakan Musim Semi Arab.
Kini Tunisia dipimpin Presiden Kais Saied yang pada tanggal 6 Oktober 2024 lalu kembali terpilih untuk periode kedua.
Dubes Trabelsi juga menambahkan, di era kontemporer, Tunisia berperan aktif di panggung internasional pada sejumlah isu penting.
Tunisia, misalnya, mulai menjalin hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) saat mengikuti KAA di Bandung. Hubungan diplomatik keduanya di mulai Januari 1964. Pada tahun 1971, Tunisia mendukung Resolusi Majelis Umum PBB 2758 yang menganjurkan agar RRT menggantikan Republik Tiongkok di PBB.
Tunisia juga berpihak pada Gerakan Non Blok, mengecam keras politik apartheid di Afrika Selatan, serta merupakan salah satu pendukung utama kemerdekaan Palestina.
Budaya dan Ketahanan Bangsa
Host kuliah umum ini, DR. Teguh Santosa, mengatakan bahwa kisah Tunisia membuktikan bahwa perjalanan satu bangsa tidak terlepas dari peran budaya yang dimiliki dan dikembangkangnya.
Dalam hal ini budaya tidak sekadar berupa tarian dan nyanyian, melainkan way of life atau cara hidup yang tumbuh di tengah masyarakat serta diwariskan dan terus dikembangkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Teguh juga mengatakan, bahwa kemampuan mengembangkan budaya untuk menjawab tantangan jaman adalah penentu bertahan atau punahnya suatu bangsa.
Kuliah umum Dubes Trabelsi dihadiri mahasiswa yang mengambil mata kuliah “Hubungan Internasional dan Budaya” yang diampu DR. Teguh Santosa.
Dalam sambutannya di awal kuliah umum, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah, berharap kuliah umum yang menghadirkan Dubes Republik Tunisia ini menjadi awal dari kerja sama yang lebih signifikan antara kedua negara, khususnya bagi UIN Syarif Hidayatullah dengan perguruan tinggi di Tunisia.
Sebagai respon atas pernyataan Prof. Dzuriyatun, Dubes Trabelsi mengatakan, dirinya juga tidak sabar untuk menjalin kerja sama lebih lanjut antara kedua negara, khususnya di bidang pendidikan.