Kabar berikutnya datang dari rilis data perekonomian terkini yang juga tak terlalu memberikan harapan bagi investor untuk melakukan aksi akumulasi agresif. Sementara kabar berikutnya muncul dari rilis kinerja kuartalan sejumlah emiten terkemuka di Wall Street yang gagal membangkitkan Indeks secara meyakinkan.
Terutama rilis kinerja kuartalan perusahaan raksasa teknologi internet, Alphabet. Perusahaan induk dari mesin pencari Google itu memang mampu membukukan kinerja keuangan yang lumayan lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Namun dampak terhadap pergerakan Indeks di bursa Wall Street terlalu minim, alias tidak membantu dari kelesuan.
Gerak Indeks Wall Street akhirnya kembali menutup sesi dengan mixed dan dalam rentang moderat. Indeks DJIA ditutup turun moderat 0,36 persen di 42.233,05, sementara indeks S&P500 menguat 0,16 persen di 5.832,92, dan indeks Nasdaq yang melonjak lumayan 0,78 persen di 18.712,75.
Keraguan yang masih membayang di sesi perdagangan Wall Street ini memaksa pelaku pasar di Asia bergantung pada sentimen regional dan domestik untuk menentukan arah gerak Indeks. Namun sentimen regional yang tersedia membuat keraguan di sesi Wall Street beralih menjadi gerak tajam dan mixed di Asia.
Pantauan terkini dari jalannya sesi perdagangan pertengahan pekan ini, Rabu 30 Oktober 2024 memperlihatkan, gerak Indeks yang tajam dan mixed. Indeks Nikkei (Jepang) meloncat 1,07 persen di 39.318,27, sementara indeks ASX200 (Australia) terperosok merah dengan turun tajam 0,97 persen di 8.169,0. Dan indeks KOSPI (Korea Selatan) runtuh 1,06 persen di 2.590,17.
Laporan dari jalannya sesi perdagangan juga menyebutkan, otoritas Australia yang merilis data inflasi kuartal September sebesar 2,8 persen atau di bawah ekspektasi pasar di kisaran 2,9 persen. Besaran inflasi tersebut juga tercatat sebagai yang terendah sejak kuartal pertama 2021. Investor akhirnya menggencarkan tekanan jual hingga menggulingkan Indeks usai rilis data tersebut.
Sedangkan kabar lain datang dari situasi pasar properti di China yang masih memerlukan waktu hingga lebih dari setahun untuk pulih di tengah serangkaian langkah terkini yang diambil pemerintahan Xi Jinping.
Rangkaian situasi tersebut memaksa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Indonesia kembali terjungkal di zona merah. Tekanan jual yang menderas bahkan sempat mengirim IHSG runtuh hingga 1,12 persen. IHSG kemudian menutup sesi pagi dengan merosot tajam 0,87 persen di 7.540,46.
Gerak konsisten IHSG di zona merah tercermin dalam kinerja saham-saham unggulan. Sejumlah besar saham unggulan yang masuk dalam jajaran teraktif ditransaksikan bergulat di zona merah, seperti: BBRI BMRI, BBCA, BBNI, TLKM, SMGR, ASII, UNTR, INDF, PTBA, JPFA dan UNVR.
Rupiah Mencoba Bangki
Kinerja suram IHSG terlihat berbeda dengan situasi di pasar uang. Laporan menunjukkan pelemahan mata uang utama dunia yang kembali berlanjut hingga siang ini di sesi perdagangan Asia. Pantauan RMOL memperlihatkan, nilai tukar mata uang utama dunia yang kembali tertekan pada sesi Selasa malam waktu Indonesia Barat, dan tekanan tersebut masih berlanjut hingga siang ini.
Akibat dari suramnya mata uang utama dunia tersebut, hampir seluruh mata uang Asia turut terseret kembali di zona pelemahan. Namun mengesankan nya, Rupiah justru mampu melawan arus sentimen suram tersebut. Setelah sempat menjejak zona pelemahan tipis, Rupiah berbalik menguat dan mencoba konsisten di zona penguatan tipis. Hingga ulasan ini disunting, Rupiah tercatat diperdagangkan di kisaran Rp15.735 per Dolar AS atau menguat tipis 0,12 persen.
Pantauan RMOL menunjukkan, Rupiah yang sempat menjejak zona pelemahan, namun dengan mudah segera beralih ke zona hijau. Gerak menguat Rupiah diyakini lebih dilatari oleh potensi teknikal usai mengalami serangkaian pelemahan konsisten dalam beberapa hari sesi perdagangan sebelumnya. Pelaku pasar kini mencoba berharap mendapatkan suntikan sentimen domestik dari rilis data inflasi dan indeks PMI manufaktur terkini pada sesi akhir pekan ini.