Persoalannya kemudian pada ayat (2) terbuka diskresi berupa “dalam hal tertentu menteri dapat menetapkan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru. Di sinilah terbuka pintu masuk untuk mengimpor barang bekas.
Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan bahwa penetapan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru, disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud diatur dengan peraturan menteri (perdagangan).
Pada Pasal 48 dinyatakan bahwa surat persetujuan impor atas barang dalam keadaan tidak baru diserahkan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Implikasi dari Pasal 47 dan Pasal 48 adalah sebagai garda terdepan proteksi impor barang bekas berada dalam kebijakan kementerian perdagangan, khususnya ditjen perdagangan luar negeri impor, dimana penetapan tersebut disampaikan kepada menteri keuangan, selanjutnya garda terakhir dalam praktek dilaksanakan oleh bea cukai.
Demikian pintu masuk berdasarkan ketentuan UU 7/2014 tentang perdagangan untuk menelusuri asal mula rekam jejak potensi persoalan impor pakaian bekas dari sudut pandang regulasi.
Pelemahan proteksi terhadap impor pakaian bekas, yang dicurigai sebagai asal mula yang menimbulkan kebangkrutan pada banyak pabrik pada industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia tersebut menarik untuk dikaji.
UU 7/2014 tersebut disahkan pada tanggal 11 Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana Menteri Perdagangan (Mendag) dijabat oleh Muhammad Lutfi pada periode tanggal 14 Februari 2014 hingga 20 Oktober 2014.
Sesungguhnya impor pakaian bekas secara tegas telah dilarang menggunakan Permendag nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas ketika Mendag dijabat oleh Rachmat Gobel per tanggal 9 Juli 2015. Akan tetapi pada waktu Mendag Agus Suparmanto pada tanggal 6 Februari 2020 dikeluarkan kebijakan relaksasi impor pakaian bekas dan diundangkan pada tanggal 25 Februari 2020, yaitu Permendag nomor 12/2020 tentang barang dilarang impor.
Pada pasal 8 butir a dinyatakan bahwa Permendag nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas (Berita NRI tahun 2015 nomor 1051) … dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Implikasi dari relaksasi tersebut, maka terjadilah impor pakaian bekas sebagaimana celah hukum yang ditimbulkan oleh UU 7/2014 Pasal 47 ayat (2) dan ayat (4), namun kebijakan impor pakaian bekas dimungkinkan oleh UU secara legal.
Akan tetapi relaksasi impor pakaian bekas kemudian dicabut menggunakan Permendag 18/2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor. Pada Pasal 2 ayat (3) butir d dinyatakan bahwa barang dilarang impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Permendag 18/2021 tersebut ditetapkan pada tanggal 1 April 2021 oleh Mendag Muhammad Lutfi. Kebijakan larangan impor pakaian bekas diulangi menggunakan Permendag 40/2022 pada Lampiran II romawi IV untuk pos tarif/HS 6309.00.00, yang ditetapkan pada tanggal 13 Juni 2022 oleh Mendag Muhammad Lutfi.
Selanjutnya berdasarkan Permendag 36/2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor pada Pasal 31 ayat (3) huruf b dinyatakan bahwa barang pindahan dapat diberikan terhadap barang dalam keadaan tidak baru, yakni barang pindahan WNI yang dibuktikan dengan surat keterangan dari perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri dan barang pindahan WNA. Barang pindahan tersebut bukan berarti sebagai impor pakaian bekas dan tidak dalam volume yang banyak.
Permendag 36/2023 tersebut ditetapkan pada tanggal 11 Desember 2023 oleh Mendag Zulkifli Hasan. Demikian pula dengan Permendag 8/2024 tentang perubahan ketiga atas peraturan Mendag 36/2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor, antara lain mengulangi pengaturan impor barang kiriman pekerja migran Indonesia, barang kiriman pribadi, barang pribadi penumpang, barang pribadi awak sarana pengangkut, barang pelintas batas, barang pindahan WNI dan WNA, serta barang kiriman jemaah haji melalui penyelenggara pos (Pasal 1 paragraf 4). Permendag 8/2024 ditetapkan tanggal 17 Mei 2024 oleh Mendag Zulkifli Hasan.
Relaksasi regulasi impor pakaian bekas hanya terjadi pada tahun 2020 dalam bentuk kebijakan Permendag nomor 12/2020, dimana regulasi tersebut segera dicabut pada tahun 2021 menggunakan Permendag 18/2021.
Implikasinya, impor pakaian bekas seharusnya tidak lagi dianggap sebagai penyebab utama atas kebangkrutan pabrik-pabrik industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia untuk periode tahun 2021, 2022, 2023, hingga tahun ini, yaitu tahun 2024.
Artinya, Permendag 18/2021, Permendag 40/2022, Permendag 36/2023, dan Permendag 8/2024 sudah tidak relevan untuk dicurigai dijadikan sebagai sumber penyebab impor pakaian bekas, yang berpotensi dapat membangkrutkan pabrik-pabrik pada industri tekstil dan produk tekstil, serta menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Sementara itu temuan di lapangan yang menyatakan keberadaan impor pakaian bekas masih perlu dikonfirmasi secara lebih mendalam dari aspek kajian mikro, karena pakaian bekas bersumber dari impor terpublikasikan telah dimusnahkan dengan cara dibakar oleh para petugas.
Dalam hal ini, persoalan impor pakaian bekas sesungguhnya bukanlah sebagai bukti untuk penyebab langsung atas kebangkrutan dan PHK besar-besaran tersebut.
Jika menduga bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat Indonesia sebagai penyebab kebangkrutan pabrik-pabrik industri tekstil dan produk tekstil dari sumber dalam negeri, akan tetapi data daya beli konstan PPP GDP per kapita konstan dengan penimbang tahun 2017 dolar internasional di Indonesia terestimasi meningkat untuk tahun 2022 sebesar 13.484,73 unit, tahun 2023 sebesar 14.014,18 unit, dan tahun 2024 sebesar 14.557,09 unit (IMF, 2024).
Maknanya adalah paritas daya beli di Indonesia sesungguhnya secara agregat sedang meningkat, sehingga paritas daya beli periode tahun 2022-2024 bukanlah sebagai kambing hitam atas kebangkrutan dan PHK besar-besaran yang terjadi dalam negeri pada industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia, khusus untuk perusahaan yang berorientasi ekspor.
Demikian pula terhadap laju inflasi yang menurun dan tingkat pengangguran yang juga menurun, juga terkesan tidak ada kaitan langsung dengan masalah kebangkrutan dan PHK pada industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri.
Penulis tergabung dalam Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana