Indeks DJIA tergerus 0,9 persen dengan menutup di 41.763,46, sementara indeks S&P500 rontok 1,86 persen di 5.705,45 dan indeks Nasdaq tumbang 2,76 persen setelah terhenti di 18.095,15. Pantauan dari jalannya sesi perdagangan menunjukkan, gerak Indeks yang konsisten menjejak zona merah di sepanjang sesi yang sekaligus mencerminkan kukuhnya pesimisme investor.
Pesimisme tersebut kemudian menjalar hingga sesi perdagangan pagi penutupan pekan ini di Asia, Jumat 1 November 2024. Di tengah kabar positif dari China yang mengklaim terjadinya ekspansi pada aktivitas manufaktur pada Oktober lalu, tekanan jual masih menghampar di hampir seluruh bursa Asia.
Rilis Indeks PMI manufaktur oleh pihak swasta di China menunjukkan, Indeks PMI untuk Oktober lalu yang menginjak kisaran 50,3. Hal ini mengindikasikan terjadinya pertumbuhan pada aktivitas manufaktur di negeri perekonomian terbesar Asia itu. Namun sentimen tersebut gagal menahan pesimisme yang sedang menghampar.
Hingga sesi perdagangan siang ini berlangsung, Indeks Nikkei (Jepang) runtuh 2,11 persen di 38.256,63, sementara indeks ASX200 (Australia) tertebas 0,68 persen di 8.104,2 dan indeks KOSPI (Korea Selatan) naik tipis 0,05 persen di 2.556,2. Pola suram di Asia menyulitkan pelaku pasar di Jakarta untuk sekedar bertahan di zona hijau.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok dalam zona koreksi di sepanjang sesi perdagangan pagi ini. IHSG kemudian menutup sesi dengan turun 0,73 persen di 7.518,99. Sentimen domestik dari rilis Indeks PMI manufaktur yang berada di kisaran 49,2 pada Oktober lalu kian menyulitkan IHSG lolos dari penurunan. Catatan menunjukkan, posisi Indeks PMI manufaktur Indonesia yang telah empat bulan terakhir menjejak zona kontraksi, di mana hal ini menjadi kekhawatiran bagi investor.
Sementara rilis data inflasi bulanan untuk Oktober lalu diklaim sebesar 0,08 persen. Rilis terjadinya inflasi ini sekaligus menghentikan deflasi yang telah terjadi dalam lima bulan sebelumnya secara beruntun. Namun demikian pelaku pasar masih kesulitan menemukan pijakan untuk beralih optimis.
Sentimen domestik yang tersedia secara keseluruhan akhirnya cenderung semakin menyulitkan investor untuk menatap optimis. Tekanan jual berlanjut dan menghantam sejumlah saham unggulan, seperti: BBRI, BMRI, TLKM, INDF, BBNI, CPIN, UNTR, PTBA, PGAS, JPFA, ICBP, LSIP dan SMGR. Meski demikian, dua saham unggulan, ADRO dan BBCA masih mampu mencetak kenaikan.
Rupiah Bergerak Sempit
Kinerja tak jauh berbeda terjadi pada nilai tukar Rupiah. Di tengah berhasilnya sebagian mata uang utama dunia melanjutkan gerak menguat terbatas, Rupiah terkesan kesulitan untuk menjejak zona hijau. Pantauan menunjukkan, Rupiah yang sempat mengawali sesi pagi dengan menguat tipis, namun dengan cepat beralih merosot.
Kemerosotan Rupiah dalam rentang moderat kemudian berlangsung konsisten di sepanjang sesi pagi ini. Hingga ulasan ini disunting, Rupiah masih diperdagangkan di kisaran Rp15.715 per Dolar AS atau melemah 0,17 persen. Rilis data indeks PMI manufaktur dan Inflasi bulanan dengan mudah tenggelam oleh sikap pelaku pasar yang cenderung menantikan rilis data NFP AS malam nanti waktu Indonesia Barat.
Gerak Rupiah akhirnya terjebak di rentang terbatas seiring dengan pola yang sedang mendera seluruh mata uang Asia. Pantauan menunjukkan, mata uang Asia yang hingga siang ini hanya menyisakan Peso Filipina yang mampu bertahan di zona penguatan moderat. Selebihnya, termasuk Rupiah, masih bergulat di zona pelemahan terbatas.