Kasus Tannur dan Teori Emotion Funnel

1 week ago 7

KRIWIKAN (aliran air kecil) berupa kasus penganiayaan, yang kalau perkara hukumnya tidak direkayasa, adalah satu perkara pidana biasa. Pelakunya bisa divonis sekitar lima tahun penjara. 

Tapi karena perkara itu direkayasa dengan suap Rp3,5 miliar, sehingga Ronald divonis bebas, maka sejak itulah perkara ini mulai berubah menuju (akhirnya menjadi) grojogan (aliran air bah). Melibas siapa saja yang terlibat dalam proses rekayasa hukum itu.

Dalam sejarah hukum di Indonesia, inilah perkara rekayasa keadilan yang bisa diungkap penegak hukum dengan begitu cemerlang. Lengkap dan detail. Menyangkut para pelaku, latar belakangnya. 

Dimulai dari persahabatan pengacara Lisa Rahmat dengan ibunda Ronald, Meirizka Widjaja. Mereka merancang penyuapan. Sampai aliran uang dari Meirizka ke Lisa, lalu didistribusikan ke makelar kasus, sampai berakhir ke tiga majelis hakim pengadil.

Sebagai kisah drama nyata, menggambarkan kerusakan hukum di Indonesia. Rusak parah. Walaupun sebenarnya selama ini masyarakat sering bicara kerusakan hukum. Tapi cuma bicara. Cuma omon-omon.

Di perkara ini terpapar begitu jelas terperinci. Serta sah, sejak ditetapkan Kejaksaan Agung, bahwa Meirizka jadi tersangka penyuap.

Ini perkara besar. Sudah jadi grojogan. Tercatat dalam sejarah Indonesia, juga bahan kuliah dalam ilmu hukum perguruan tinggi, dikenang oleh para penegak hukum sebagai kenangan memalukan, serta menjadi warning bagi calon pelaku perekayasa hukum. Seumpama suatu saat terjadi lagi, ingatlah kasus Ronald Tannur.

Saya tidak mengarah ke situ. Biarkan itu jadi kajian para pakar hukum. Biarkan jadi cermin para penegak hukum, tempat mereka bercermin.

Mundur ke belakang, itu bermula dari pacaran Ronald dan Dini. 

Ronald lajang, anak orang berduit. Ayahnya, Edward Tannur, pengusaha sukses asal Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang kemudian pindah ke Surabaya. Edward anggota DPR RI dari Fraksi PKB periode 2019-2024.

Dini janda asal Sukabumi. Dia punya seorang anak laki-laki usia 12 (pada 2023). Dini menikah usia 16 di Sukabumi. Setahun kemudian lahirlah anak itu, lalu Dini bercerai. Setelah cerai, dia mengadu nasib ke Surabaya, kerja sebagai pemandu lagu di tempat karaoke. Hasil kerja, sebagian untuk hidup sehari-hari di Surabaya, sebagian lagi dikirim ke ortu di Sukabumi yang merawat anak Dini. 

Ronald dan Dini kenal di tempat karaoke, tempat Dini bekerja di Surabaya pada Mei 2023.

Seorang perempuan teman kerja Dini di karaoke (enggan disebut nama), cerita ke wartawan: “Andini (panggilan Dini) orangnya baik. Saya dan dia kerja di satu karaoke yang sama selama dua tahun. Andini sering bagi-bagi uang tip (dari pengunjung karaoke yang memberi tip) ke anak-anak pelayan. Dia baik."

Dilanjut: “Terus, Andini kenal Ronald, sewaktu Ronald datang ke karaoke tempat kerja kami. Setelah kenal, terus akrab, dilanjut mereka pacaran. Sejak pacaran, Andini keluar dari karaoke sebab biaya hidupnya sudah ditanggung si cowok.”

Selasa, 3 Oktober 2023, Ronald dan Dini makan malam di sebuah restoran di kawasan Citraland, Surabaya Barat. Ketika makan, Ronald ditelepon teman pria yang sedang rekreasi di tempat karaoke di Blackhole KTV Club, Lenmarc Mall, Surabaya. Ronald diajak gabung ke karaoke itu.

Usai makan, Ronald dan Dini berangkat menuju tempat karaoke tersebut. Di sana mereka semua minum miras. Sampai semuanya mabuk. 

Rabu, 4 Oktober 2023 dini hari, mereka bubar meninggalkan tempat karaoke dalam kondisi mabuk. Ronald dan Dini cekcok. Ronald memukul kepala Dini dengan botol minuman yang masih berisi miras. Dini ngambek, jalan duluan menuju tempat parkir mobil di basement

Di parkiran mobil itulah Dini terlindas mobil Ronald secara tak sengaja. Akibat Dini duduk di lantai bersandar di bawah pintu kiri depan. Dini meninggal di RS National Hospital.

Penyebab awal seluruh rangkaian kasus ini adalah Ronald-Dini cekcok dalam kondisi sama-sama mabuk. Sama-sama marah. 

Marah dan kecewa, mirip. Tapi hasil akhirnya sangat berbeda. Orang marah bisa mengamuk, menyerang orang secara brutal. Orang kecewa umumnya diam membeku, merenungi kekecewaan.

Pendiri LEADx, Kevin Kruse, menulis tentang itu dipublikasi di Forbes, 27 September 2024, berjudul: The Ultimate Self-Awareness Strategy: Emotion Funneling. LEADx adalah platform untuk membantu para manajer meningkatkan efektivitas kerja mereka selaku pemimpin. Kantor pusatnya di Philadelphia, Pennsylvania, AS.

Diungkap, sembilan puluh lima persen orang se-dunia tidak dapat membedakan antara marah dan kecewa. Padahal, pengetahuan ini sangat penting untuk meredam kemarahan. Data tersebut dikutip Kruse dari hasil riset pakar kecerdasan emosional AS, Marc Brackett, yang mengejutkan para ilmuwan di sana.

Disebutkan, perbedaan antara marah dan kecewa terletak pada rasa keadilan. Orang marah, jika hatinya tersakiti karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Orang kecewa, jika hatinya tersakiti akibat suatu perlakuan adil.

Ilustrasi: A melamar pekerjaan, kemudian mengikuti ujian agar bisa dapat pekerjaan tersebut. Akhirnya A tidak lulus ujian sehingga tidak diterima di situ. Tapi teman A, katakanlah B, lulus ujian dan diterima di situ.

Kemudian A yang sakit hati, menganalisis. Ia merasa lebih pintar daripada B. Hasilnya kok bisa begitu? Ternyata, B diterima di tempat kerja tersebut karena bantuan ‘orang dalam’. Akibatnya si A marah. Karena merasa diperlakukan tidak adil.

Seandainya, B lulus ujian karena nilai ujiannya bagus, dan ia tidak punya koneksi ‘orang dalam’, maka A merasa kecewa. Bukan marah. Ia tahu diperlakukan adil, karena hasil ujian B lebih bagus darinya, maka hati A tersakiti sehingga ia kecewa. 

Orang kecewa tidak berbahaya buat orang lain. Orang marah bisa sangat berbahaya bagi orang yang menyakiti hatinya.

Dilanjut, Kruse membikin teori yang ia sebut Emotion Funnel. Teori untuk meredam kemarahan. Sangat detil diukur dengan angka-angka. Tapi intinya, ia membuat tiga pertanyaan buat orang yang sedang marah. Begini: 

Pertama, apa yang Anda rasakan ketika marah? Jawabnya bisa beragam. Intinya, “Saya merasa tidak enak badan. Pikiran kalut, ogah makan, sulit tidur, ingin membunuh orang yang membuatku marah.”

Kedua, mengapa? Jawabnya juga bervariasi. Misalnya, “Karena orang itu berbuat tidak adil padaku.”

Ketiga, jadi sekarang kamu mau bagaimana? Jawabnya juga banyak. Misalnya, “Ya…. orang itu akan saya gebuki. Kalau perlu sampai ia pingsan.”

Cukup. Sampai di sini, tulis Kruse, si pemarah akan berpikir. Merenungi rencana perbuatannya di saat ia marah. Ia akan membalas dendam. 

Berdasarkan riset Kruse, setelah tiga pertanyaan itu diajukan si pemarah terhadap diri sendiri dan dijawab sendiri, maka tingkat kemarahan bakal turun lebih dari lima puluh persen dibanding saat sebelum adanya tiga pertanyaan itu.

Walaupun bisa saja orang itu tetap bertindak agresif menyerang orang yang menyakiti hatinya. Tapi, kadar serangannya sudah turun lebih dari lima puluh persen.

Dikaitkan dengan kasus Ronald, apakah ia marah atau kecewa terhadap Dini? Dilihat dari hasil akhirnya, jelas ia marah. Seumpama Ronald menerapkan teori Emotion Funnel, ia bakal tersadarkan pada pertanyaan nomor dua: Mengapa ia mau memacari Dini? Mengapa tidak putus saja, you-me end, lantas cari yang lain? Urusan selesai.

Stop... Jangan terlalu banyak teori, sebab marah tak perlu teori. Memang. Tapi kalau Anda ingat teori ini, kemarahan Anda bakal teredam lebih dari lima puluh persen. Orang terselamatkan, Anda pun selamat. rmol news logo article

Penulis adalah Wartawan Senior

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|