Demikian disampaikan Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Merisa Dwi Juanita melalui siaran persnya, Senin, 11 November 2024.
“Dalam penandatanganan nota kesepahaman meliputi pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim yang merupakan klaim tumpang tindih antara kedua negara," kata Merisa.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Merisa menilai langkah ini sebagai kebijakan yang keliru dan berisiko serius bagi Indonesia. Beberapa alasan yang mendasari pandangan tersebut adalah:
1. Penolakan Klaim Sepihak China
Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas peta 10 garis putus-putus (ten dash line) di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam China.
Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut China Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain, serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna.
2. Kepatuhan terhadap UNCLOS 1982
Indonesia dan China adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Klaim ruang laut Indonesia saat ini sepenuhnya didasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982. Wilayah China jauh melampaui 200 nm ZEE dan 350 nm landas kontinen sehingga jelas tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
Oleh karena itu, memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih tidak memiliki dasar yang kuat, terutama mengingat protes terhadap klaim China yang konsisten dilakukan sejak tahun 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024.
Sehingga pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih pada wilayah maritim kedua negara merupakan inkonsistensi yang serius.
3. Putusan Arbitrase Internasional 2016
Klaim China melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016 sehingga tidak memiliki basis hukum yang sah.
Penandatanganan nota kesepahaman oleh Presiden Prabowo dianggap sebagai tindakan yang mengakui klaim China, padahal secara hukum internasional klaim tersebut tidak valid.
4. Pelanggaran oleh Nelayan dan Coast Guard China
Nelayan China, bersama dengan penjaga pantainya, telah berulang kali melakukan penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) dan melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara secara agresif.
Tindakan ini menyebabkan krisis berkepanjangan yang merugikan Indonesia, baik secara ekonomi maupun keselamatan para nelayan yang terlibat langsung.
Karena itulah Bara Maritim dan SETARA Institute mendesak agar Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri ataupun Presiden Prabowo, segera mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan kembali posisi Indonesia sesuai dengan UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase Internasional 2016.
Selain itu, diperlukan penguatan potensi kelautan di wilayah yurisdiksi Indonesia serta peningkatan keamanan insani (human security) bagi para nelayan dengan penegakan hukum yang lebih tegas di wilayah zona krisis.
"Termasuk peningkatan peralatan yang canggih di kapal-kapal Bakamla untuk menciptakan keamanan maritim di wilayah perairan Indonesia," pungkas Merisa.