Sritex merupakan perusahaan tekstil nasional yang mempekerjakan tak kurang dari 16 ribu karyawan. Perusahaan ini didirikan oleh HM Lukminto sejak 1966. Pabrik yang berawal dari Pasar Klewer Solo ini pada masa jayanya pernah menjadi penyedia seragam militer North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Jerman pada 1994.
Memang, kondisi Sritex sedang tak baik-baik saja. Tekanan pasar China, perdagangan ekspor impor yang terganggu oleh perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, dampak Pandemi Covid-19, serta terlilit liabilitas besar sampai Rp25 triliun, memukul performa perusahan 5 tahun terakhir.
Sritex sampai gagal bayar terhadap PT Indo Bharat (IBR) sebesar Rp101,3 miliar. Sehingga perusahaan rekanan Sritex ini melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Dan, pengadilan memutuskan Sritex pailit pada Senin, 21 Oktober 2024.
Putusan pailit sempat menghentikan operasional Sritex, sampai pemerintah mengizinkan perusahaan menyelesaikan kontrak kerja dengan perusahaan dalam dan luar negeri yang berjalan. Sembari menunggu proses restrukturisasi manajemen perusahaan tuntas oleh kurator pengadilan.
Di awal pemerintahannya, Prabowo sepertinya ingin menunjukkan kecepatan kinerja mengatasi problema ketenagakerjaan di Tanah Air. Sebab, PHK karyawan Sritex otomatis berdampak langsung pada peningkatan angka tingkat pengangguran terbuka di Nusantara.
Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi di kawasan ASEAN. Angkanya tebus 4,82 persen atau setara dengan 7,2 juta orang. Ini berarti dari 100 orang angkatan kerja terdapat 5 orang yang menganggur.
IMF malah merilis TPT indonesia lebih besar 5,2 persen. Berikutnya persentase TPT negara-negara ASEAN secara berurutan: Filipina (5,1 persen), Malaysia (3,5 persen), Vietnam (2,1 persen), Singapura (1,9 persen), dan Thailand (1,1 persen).
Lepas dari perbedaan angka BPS dan IMF di atas, yang pasti, pemerintah seyogyanya bekerja lebih keras membuka lapangan pekerjaan baru, guna meningkatkan produktivitas nasional. Termasuk setop PHK. Bila belum bisa menciptakan lapangan kerja baru.
Apalagi, ancaman PHK riil dihadapi oleh berbagai perusahaan, hatta perusahan kelas dunia sekalipun. Ini efek nyata dari kelesuan ekonomi dunia akibat Pandemi Covid-19 dan ketegangan perang di kawasan Eropa dan Timur Tengah.
Dikabarkan pula, perusahaan otomotif asal Jerman, Volkswagen, lantaran krisis keuangan, berencana PHK besar-besaran. Puluhan ribu karyawan telah kehilangan pekerjaan sebagai dampak dari penutupan tiga pabriknya. Ini dilakukan lantaran lemahnya permintaan pasar China dan Asia serta transmisi pada mobil listrik.
Kondisi ekonomi dunia yang lesu merupakan tantangan sendiri bagi Prabowo dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Kendati basis ekonomi Indonesia pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan tambang yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Berbeda halnya dengan ekonomi negara-negara maju yang berbasis pada industri dan jasa yang terdampak langsung dengan menurunnya produksi industri dan transisi dunia pada ekonomi digital.
Sesungguhnya, pemerintah telah menjadikan tantangan sebagai peluang ekonomi digital. Studi Google Termasek, Bain and Company menyebutkan bahwa pada dua tahun lalu, nilai ekonomi digital Indonesia mencapai 77 miliar dolar AS. Nilai ini diprediksikan akan meningkat dua kali lipat menjadi 130 miliar dolar AS pada tahun depan.
Walau begitu, Prabowo tak terlalu bangga dengan data dan angka statistik yang menunjukkan ekonomi Indonesia memiliki prospek yang baik. Apalagi, muncul banyak orang kehilangan pekerjaan karena PHK.
Oleh karena itu, bisa dimengerti, bila Prabowo gercep mengatasi potensi PHK Sritex. Sebab, jumlah PHK pada 2023 sudah mencapai 64 ribu kasus.
Bila PHK perusahan tekstil konglomerat India ini dibiarkan, pasti menjadi bom waktu bagi peningkatan kasus PHK yang menggoyang ekonomi nasional.
Terus terang, sikap Prabowo dalam menangani perusahaan pailit di atas, membawa optimisme merekah. Presiden gemoy yang sudah cukup berusia ini ternyata, masih sangat lincah, gesit, dan tangkas membuat keputusan yang cepat, tepat dan berpihak pada kepentingan buruh kecil.
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Penulis Buku " Kerikil Di balik Sepatu Anies".