Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mencatat setidaknya 12,85 persen atap terluas rumah tangga di Indonesia menggunakan bahan asbes.
Namun, Badan Riset Dunia untuk Kanker (IARC) dibawah Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa semua jenis asbes bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker.
Hal itu diperkuat dengan dimenangkannya gugatan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Mandiri (LPKSM) Yasa Nata Budi dan Local Initiative for OSH Network (LION) ke Panitera Muda Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA) pada akhir tahun lalu, terkait permohonan hak uji materiil tentang Permendag Nomor 25 tahun 2021.
Gugatan tersebut merupakan upaya LPKSM dan LION untuk mendapatkan informasi yang benar, terutama soal produk yang mengandung asbes di pasaran. Sejauh ini produk yang menggunakan bahan asbes tidak mencantumkan informasi yang lengkap, baik cara penggunaan maupun kandungan bahaya dalam produk tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Manufaktur Fiber Cement (FICMA) memberikan klarifikasi bahwa bahan yang mereka gunakan untuk produk asbes mereka tidak berbahaya. Atap asbes produksinya menggunakan krisotil yang tidak tercantum di dalam Ratifikasi Konvensi Rotterdam, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2013
FICMA juga menekankan bahwa krisotil berbeda dengan jenis asbes lainnya seperti; actinolite, amosite, anthophyllite,
crocidolite, dan tremolite yang telah lebih dulu ditetapkan karsinogenik.
FICMA kemudian menggugat keputusan MA yang menetapkan pencabutan peraturan menteri perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 yang abai menetapkan kewajiban label cara penggunaan dan peringatan bahaya pada produk atap asbes.
Tidak tanggung-tanggung, FICMA juga menggugat para pengurus lembaga pelindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang mengajukan judicial review atas peraturan menteri perdagagnan tersebut untuk membayar ganti rugi senilai Rp7,9 miliyar per bulan dengan uang paksa Rp5 juta per hari.
FICMA mengatakan, akibat langkah tersebut, para pengusaha mengalami kerugian opportunity lost senilai Rp.7,98 Triliun.
Menghadapi gugatan dari FICMA, para pengurus LPKSM optimis akan memenangkan perkara.
Perwakilan LPKSM Leo Yoga Prana Leo Yoga Prana mengatakan, kemenangan LPKSM Yasa Nata Budi dalam perkara di MA memberi angin segar dalam pelindungan konsumen dari bahaya penyakit akibat asbes. Dia mengatakan justru terkejut dengan reaksi FICMA yang melayangkan gugatan kepada pihaknya.
“Kami hargai hak konstitusional FICMA walaupun menurut kami gugatan mereka salah sasaran. Sebaiknya FICMA berpikir ulang menggugat hak konsumen memperoleh informasi yang benar atas produk yang akan di konsumsinya,” ucap Leo.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Ban Asbestos, Muchammad Darisman menjelaskan, langkah hukum yang ditempuh FICMA dengan menggugat kepentingan konsumen adalah preseden buruk bagi kepastian hukum pelindungan konsumen di Indonesia. Menurutnya konsumen yang semakin cerdas memutuskan konsumsinya adalah amanat konstitusi yang justru harus dipenuhi negara.
“Ini ada lembaga perlindungan konsumen yang ingin mencerdaskan masyarakat dengan meminta pemberian label bahaya dan tata cara penggunaan atap asbes, kok malah di bungkam balik dengan gugatan hukum,” katanya.
Darisman menegaskan jaringan kerja advokasi penyakit akibat asbes yang dipimpinnya akan terus mendukung upaya LPKSM melawan upaya perusahaan atap asbes menutupi fakta bahaya asbes.
“Kita tidak akan tinggal diam, bersama-sama kita akan hadapi upaya pembatasan hak konsumen
untuk menjadi lebih cerdas,” katanya.
Ditemui pada kesempatan yang berbeda, LION Indonesia yang telah bekerja mengadvokasi bahaya asbes sejak tahun 2010, menyatakan bahwa keputusan MA agar produsen wajib mencantumkan label bahaya dan tata cara penggunaan yang tepat adalah hak konsumen.
Hak memperoleh informasi yang jelas, jujur, dan terbuka atas produk konsumsi dilindungi oleh UU Konsumen No.8 tahun 1999.
“Indonesia sudah mendaftarkan enam orang pekerja dengan penyakit akibat paparan asbes di tempat kerja. Pelajaran penting dari hal ini adalah tidak adanya informasi kebahayaan dan tata cara penggunaan bagi pekerja ternyata telah memakan korban. Kita berkepentingan agar tidak makin luas korban dari kalangan konsumen atap asbes,” jelas Surya Ferdian, Direktur LION Indonesia.
LION Indonesia mendukung dan akan ikut serta dalam pembelaan kepada LPKSM Yasa Nata Budi menghadapi gugatan FICMA yang menurutnya tidak masuk akal.
Tindakan LPKSM yang menuntut pembatalan peraturan menteri perdagangan yang mengabaikan kebahayaan asbes menurutnya adalah upaya yang justru untuk menyelamatkan FICMA. Kompensasi bagi masyarakat yang menderita penyakit akibat asbes di masa depan tentu bukan harga yang ringan.
“Kami tidak menginginkan industri membayar mahal atas penyakit akibat asbes di masa depan,” jelasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2014 mengeluarkan rekomendasi mengenai “Penghapusan Penyakit Terkait Asbes” menurut WHO pada tahun 2014 diperkirakan sekitar 125 juta orang di dunia terpapar asbes di tempat kerja.
Menurut perkiraan WHO, lebih dari 90.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat kanker paru-paru yang berhubungan dengan asbes, mesothelioma, dan asbestosis akibat paparan di tempat kerja. Satu dari setiap tiga kematian akibat kanker akibat kerja diperkirakan disebabkan oleh asbes.
Di Indonesia sendiri Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun mencantumkan asbes/asbestos sinonim dengan nama dagang Amianthus dan Chrysolite (krisotil) merupakan bahan berbahaya dan beracun.
Demikian juga disebutkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan, yang mencantumkan asbestos sebagai bahan berbahaya yang mempunyai sifat racun dan karsinogenik.