Tamsil Linrung adalah seorang wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) yang mulai menjabat sejak 2 Oktober 2024-2029 dari daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Sulawesi Selatan II, sejak tahun 2019.
Tamsil pernah dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, dan Partai Bintang Reformasi pada waktu sebagai calon Walikota Makassar periode 2013-2018. Tamsil juga pernah menjadi anggota DPR selama tiga periode tahun 2004 hingga 2019 dari Fraksi PKS.
Persoalannya adalah pada periode DPD sebelumnya, pada masa reses itu Tamsil menyelenggarakan audisi dengan kelompok Petisi 100 pada periode kepemimpinan LaNyalla Mattalitti sebagai Ketua DPD.
Aspirasi dari Petisi 100 antara lain adalah untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo atas beberapa potensi pelanggaran Undang-undang. Akan tetapi aspirasi tersebut tidak membuat DPD, DPR, dan MPR memproses aspirasi pemakzulan, karena bukan hanya DPD, melainkan DPR juga tidak merespons aspirasi pemakzulan hingga periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah berakhir pada 20 Oktober 2024. Aspirasi Petisi 100 adalah memakzulkan Presiden Joko Widodo sebelum pemerintahannya berakhir.
Posisi jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Pasal 22C dalam UUD 1945 hasil Amandemen Satu Naskah). Ketentuan tersebut mempunyai implikasi bahwa penyerapan aspirasi bukan hanya bisa tidak mencapai kuorum di DPD, melainkan sungguh amat sulit aspirasi DPD juga memperoleh kuorum di DPR untuk memproses aspirasi pemakzulan dalam persidangan MPR.
Terlebih aspirasi tersebut bukan berasal dari partai koalisi pemerintah. Keberadaan koalisi parpol pemerintah yang dominan, berakibat berupa tidak mudahnya aspirasi pemakzulan dapat memenuhi semua ketentuan persyaratan jumlah minimal mampu mencapai kuorum untuk memprosesnya sesuai ketentuan tata perundangan-undangan. Hal itu karena diperlukan kuorum minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR untuk mulai memproses pemakzulan.
Di samping itu, DPD hanya mempunyai kewenangan untuk mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)).
Selanjutnya DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR untuk RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)), maupun hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal 22D ayat (3)).
Jadi, DPD sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk menampung dan mempersoalkan aspirasi pemakzulan presiden selama aspirasi tersebut tidak diproses di DPR, terlebih dalam persidangan di MPR.
Singkat kata, audisi Petisi 100 di DPD sebagai suatu usaha sekalipun DPD tidak mempunyai kewenangan untuk memprosesnya, kecuali jika persidangan di MPR mempersoalkan urusan aspirasi pemakzulan presiden. Akan tetapi UUD 1945 hasil amandemen satu naskah menata sungguh amat sangat sulit terjadi pemrosesan pemakzulan presiden.
Oleh karena itu presidium Hizbullah Indonesia bernama Sri Bintang Pamungkas senantiasa usul, agar Indonesia segera kembali kepada UUD 1945 dan mencabut amandemen satu naskah.
Jadi, musti ada permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempersidangkan urusan aspirasi pemakzulan. Kemudian jika dan hanya jika aspirasi pemakzulan mencapai kuorum di DPR. MK yang menjadi penentu pengambil keputusan rekomendasi untuk memproses aspirasi pemakzulan, jika DPR telah setuju untuk memprosesnya.
Dalam hal ini, Fraksi PKS di DPR RI bukanlah termasuk sebagai fraksi yang meminta pemrosesan aspirasi pemakzulan. Di samping itu Fraksi PKS berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintahan dan jumlah anggota DPR dari Fraksi PKS bukanlah dominan dan bukanlah anggota koalisi pemerintahan.
Artinya, aspirasi pemakzulan presiden sungguh amat sulit diproses pada periode pemerintahan Joko Widodo.
Dengan berakhirnya pemerintahan Joko Widodo, sebanyak 30 tokoh dari kritikus Petisi 100 kembali melakukan audiensi dengan pimpinan DPD, yang dihadiri oleh Tamsil Linrung sebagai sebagai Wakil Ketua DPD dengan posisi netral sebagai pimpinan DPD. Dewasa ini, yang menjadi Ketua DPD adalah Sultan Bachtiar Najamudin sejak 2 Oktober 2024-2029 dari Dapil Bengkulu.
Marwan Batubara adalah salah satu dari 30 orang dalam Petisi 100, yang melakukan audiensi kepada DPD untuk aspirasi mengadili Joko Widodo dan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Marwan Batubara berpengalaman sebagai anggota DPD periode 2004 hingga 2009 dari Dapil DKI Jakarta.
Jadi, terkesan ada Marwan Batubara mempunyai hubungan kolega sebagai sesama anggota DPD dengan Tamsil, namun periode menjabat dalam DPD tidak persis sama.
Roy Suryo adalah anggota DPR RI periode 2017-2019 sebagai pengganti Ambar Tjahjono. Roy Suryo berasal dari Fraksi Partai Demokrat dapil Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2013 dan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Roy Suryo menggantikan Menpora Andi Mallarangeng sebagai Menpora.
Perjalanan karir Roy Suryo tercatat bersifat kontroversial. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Roy Suryo hukuman 9 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 2 bulan penjara pada Februari 2023 terkait dugaan penistaan agama Buddha.
Persoalannya kemudian adalah Roy Suryo menganalisis Fufufafa. Roy Suryo meyakini bahwa Fufufafa teridentifikasi sebagai Gibran Rakabuming Raka. Implikasi atas analisis tersebut, maka Roy Suryo menyampaikan aspirasi untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres.
Analisis Roy Suryo terkesan didukung oleh analisis dari Tifauzia Tyassuma (dokter Tifa), yang merupakan seorang ahli epidemiologi molekuler, pendidikan, dan karier, sekaligus ahli syaraf nutrisi maupun praktisi makanan kesehatan, dan merangkap sebagai penulis kritikus. Dokter Tifa adalah alumni Universitas Indonesia.
Dokter Tifa yang sekalipun bukanlah merupakan tim kepresidenan, yang memeriksa seleksi Gibran Rakabuming Raka ketika mendaftar sebagai bacawapres, namun hasil analisis dari dokter Tifa memberatkan pembentukan opini tentang Gibran.
Persoalannya hasil analisis Roy Suryo dan dokter Tifa sekalipun tidak pernah memeriksa secara langsung tentang Gibran sebagai pasien, namun argumentasi keduanya terkesan telah dijadikan sebagai dasar gagasan pembentukan opini untuk memakzulkan Gibran Rakabuming Raka, sekalipun untuk tuduhan yang bukan pada periode Gibran sebagai Wapres yang didengung-dengungkan untuk dimakzulkan.
Persoalannya antara lain adalah banyak sekali anggota Petisi 100 yang terpengaruh tentang gagasan untuk mengadili Joko Widodo, keluarga, dan aspirasi untuk memakzulkan Gibran sebagai Wapres.
Pada waktu audiensi dengan DPD, persoalan antagonis tersebut terkesan ditumbuhkembangkan sebagai prejudisme dan informasi bersifat cocoklogi untuk mendiskreditkan Joko Widodo dan keluarga, maupun masa depan Gibran sebagai Wapres, dimana Gibran berpotensi menjadi Capres tahun 2029 nanti.
Persoalan kemudian diperluas seluas-luasnya dengan isu geopolitik hubungan bilateral pemerintah Indonesia dengan RRC.
Sekalipun dengan melihat posisi DPD, DPR, dan MPR, maka merupakan suatu perjalanan jangka panjang untuk memproses aspirasi pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres, maupun untuk mempersoalkan berbagai isu politik dan potensi pelanggaran hukum dan demokrasi, serta potensi KKN guna mengadili Joko Widodo dan keluarga melalui jalur perintisan di DPD.
Akan tetapi hattrick metoda antagonis dari audiensi 30 orang anggota kelompok kepentingan dari Petisi 100 melalui jalur pendekatan politik ini cukup menarik, terlebih ada respons suara huu pada waktu pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Hal itu, yakni ketika Gibran maju ke depan persidangan MPR episode pelantikan.
Jadi, suara huu dan identifikasi Roy Suryo maupun dokter Tifa hendak dijadikan dasar sebagai argumentasi sentimen negatif pengajuan pemakzulan dan aspirasi mengadili Joko Widodo dan keluarga sebenanya terkesan kurang meyakinkan sebagaimana posisi informasi di atas.
Penulis Tergabung Dalam Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana