Oleh: Dr H Tumpal Panggabean MA
Demonstrasi akhir Agustus 2025 mengguncang jagad politik nasional. Tidak hanya karena daya rusaknya yang dahsyat, tetapi masifnya demo hampir di seluruh daerah semakin mempertegas bahwa ketidakadilan memang sedang mencengkram Indonesia. Terjadinya penjarahan dan jatuhnya korban jiwa juga menambah buruk wajah penegakkan hukum dan hak azasi manusia di Indonesia.
Demonstrasi adalah hak azasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Tetapi penyampaian aspirasi berujung anarkis, merupakan pelanggaran hukum. Berbagai narasi kontradiktif digunakan untuk membenarkan tindakan. Para penjarah beralasan bahwa ketidakadilan penyebab mereka bertindak amoral.
Bagaimana bisa legislator menghendaki kenaikan tunjangan rumah di saat kemiskinan dan tekanan kewajiban pajak terhadap rakyat semakin mencekik. Belum lagi prilaku dan kinerja DPR yang buruk. Tuntutan peningkatan fasilitas dianggap kebijakan abusrd. Sikap tamak DPR seperti menyiramkan bensin ke tengah kobaran api.
Pudarnya Nilai Moral
Penjarahan harta privat seorang adalah tindakan amoral. Tetapi prilaku korup pejabat pemerintah dan anggota DPR dengan gaji besar dan fasilitas mewah, sungguh sangat biadab. Pelemparan aparat, pembakaran fasilitas umum dan kantor pemerintah merupakan kejahatan. Akan tetapi, sikap represif aparat Polri yang digaji dari pajak rakyat terhadap demonstran adalah pelanggaran hukum berat. Begitu pula prilaku pejabat korup dan polisi sadis, jelas tidak lebih baik dari tindakan perusakan dan penjarahan para pendemo. Keduanya sama tidak bermoral.
Indonesia sebagai negara Timur-Islam yang terkenal dengan karakter keramahtamahannya telah dikotori prilaku koruptif dan anarkistis. Filsafat kebangsaan yang dahulu digaungkan, bahwa pemimpin memberi keteladanan (Ing Ngarso Sung tuludha) hilang tak berbekas. Bahkan Al-Quran menegaskan “Amat besar kemurkaan di sisi Allah bila kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat” (Qs. Ash-Shaff (61):3). Pemimpin sejatinya memberi contoh yang baik. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab moral seperti tertera sebagai pertimbangan MPR dalam TAP MPR NOMOR VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Pada poin (e) pertimbangan tersebut disebutkan: “Bahwa etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.” Jadi, salah satu faktor utama anarkisme rakyat muncul karena hilangnya keteladanan pemimpin, terutama di legislatif dan eksekutif.
Joget adalah budaya melayu yang dipopulerkan Prabowo-Gibran di pilpres 2024. Ia sebagai alat kampanye politik untuk menggaet suara Gen-Z dengan jargon Gemoi. Belakangan semakin populer, bahkan joget seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara kenegaraan pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia di istana, meski dilakukan selepas upacara bendera. Dan tradisi tersebut sudah dimulai sebelumnya oleh Jokowi.
Akan tetapi prilaku tersebut tengah diperdebatkan dan menuai banyak kritik dari kaum agamawan, budayawan dan sosiolog. Dianggap tidak etis karena menghilangkan nilai kesakralan proklamasi sebagai simbul perjuangan bangsa dengan pengorbanan darah dan nyawa. Seharusnya alasan ini sudah cukup bagi presiden menghentikan kebiasaan tersebut.
Alasan lain yang lebih prinsip, bahwa tanggungjawab pemerintah dalam mewujudkan tujuan negara belum sepenuhnya tercapai, di tengah kemiskinan dan ketidakadilan merajalela. Jadi joget pada HUT kemerdekaan bukanlah prilaku yang mencerminkan empati pada penderitaan rakyat. Tetapi justru kampanye politik populis untuk menutupi kegagalan pemerintah mensejahterakan rakyat.
Dan mirisnya lagi, anggota DPR juga berjoget riang di sela rapat paripurna. Apakah karena rendahnya nilai moral, atau hanya trik untuk menutupi ketidakmampuan bekerja mewakili aspirasi rakyat yang mengalami ketidakadilan.
Gaya Hidup Anggota DPR dan Trigger Anarkisme
Anarkisme dalam politik tidak terjadi tanpa sebab. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka masih menyisakan lebarnya kesenjangan. Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dirilis pemerintah, rata-rata anggota DPR RI periode 2024-2029 memiliki harta kekayaan di atas lima milyar rupiah. Fakta tersebut berbanding terbalik dengan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Gaji anggota DPR RI terbilang sangat pantastis ditambah berbagai fasilitas mewah. Belum lagi berbagai previlige yang diperoleh karena pengaruh jabatan. Namum hal tersebut tidak berbanding lurus terhadap kinerja mereka sebagai wakil rakyat dalam mengawal berbagai kebijakan pemerintah. Mereka juga gagal melindungi hak-hak rakyat untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Tetapi mereka malah meminta kenaikan gaji dan tunjangan. Fakta tersebut menjadi trigger aksi anarkisme Agustus kelabu.
Kemarahan rakyat kepada sebagian anggota DPR dan pejabat pemerintah juga dipicu pamer gaya hidup super mewah. Tampilan buruk terutama anggota DPR yang berasal dari kalangan artis. Benar bahwa mereka sebelumnya artis yang stylish dengan kemewahan. Hidup glamour dan royal.
Tapi mereka lupa posisi mereka sebagai anggota DPR, mewakili rakyat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Dan mereka juga lupa bahwa mereka digaji dari pajak rakyat. Flexing berlebihan sebenarnya kamuflase paling buruk demi menutupi minimnya kadar intelektual para politisi tersebut. Belum lagi ucapan mereka yang tidak berbobot, semakin menambah kesan ketidaketisan dan rendahnya kualitas moral.
Menggugat Tanggung Jawab Partai politik
Rendahnya kadar intelektual anggota DPR menjadi persoalan tersendiri bagi Indonesia. Bangsa yang dibangun oleh sederet tokoh-tokoh besar dari kalangan terdidik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Haji Agus Salim, Syahrir serta tokoh kawakan lainnya, seakan meredup di tangan politisi senayan saat ini.
Mereka terjun ke ranah politik hanya mengandalkan popularitas tapi minim intelektualitas. Mereka berpolitik nyaris bermodalkan elektabilitas, tapi miskin moralitas. Padahal popularitas dan elektabilitas dapat dibangun sesaat mengandalkan teknologi media. Sementara intelektualitas dan moralitas hanya akan diperoleh melewati jenjang pendidikan bertingkat dan waktu yang panjang.
Lantas bagaimana mungkin tugas-tugas negara yang jelimet dan berat dapat diselesaikan oleh anggota DPR dengan kecerdasan terbatas dan minimnya moralitas?
Partai politik adalah institusi paling bertangungjawab atas kemunculan anggota DPR yang tidak punya integritas. Mereka merekrut kader partai dengan syarat yang sangat minim. Pragmatisme menyebabkan partai politik lebih mementingkan tokoh populer ketimbang kaum intelektual. Akibatnya, pilihan utama jatuh pada kalangan artis. Popularitas mereka mampu mendongkrak posisi partai dan menempatkan sejumlah kader di senayan.
Sikap pragmatis partai politik memperjelas buruknya sistem politik Indonesia. Partai tidak hanya menghilangkan hak rakyat mendapatkan wakil yang kredibel, tetapi melumpuhkan kedaulatan rakyat karena diwakili DPR yang tidak cerdas dan tidak kritis.
Proses rekruitmen kader partai politik menjadi persoalan penting yang harus segera diperbaiki oleh DPR. Langkah pencopotan anggota DPR RI yang dianggap amoral pasca demo Agustus, belum cukup untuk merubah struktur DPR. Partai-partai yang kadernya bermasalah, juga harus diberi sanksi, termasuk sanksi pembubaran misalnya.
Di samping sebagai bentuk tanggung jawab moral, hal tersebut demi memastikan DPR akan lebih berkualitas. Untuk itu, revisi undang-undang partai politik mutlak segera dilakukan.
Sepanjang sepuluh tahun rezim Jokowi kejahatan korupsi terjadi secara massif. Deforestasi menggila, lingkungan hancur akibat proyek strategis nasional (PSN), bahkan hutang menggunung, DPR nyaris tidak menggunakan satu pun hak kontrolnya. Hak-hak seperti hak inisiatif, hak angket dan hak interplasi, terutama untuk kasus-kasus politik dipetieskan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar anggota DPR juga merangkap sebagai pengusaha yang bermain di sektor tambang, hutan, laut, perkebunan dan lain-lain.
Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, sistem politik Indonesia nyaris tidak memberi batas massif yang membedakan antara eksekutif dan legislatif. Antara pelaku dan pengawas, keduanya melebur dalam satu prilaku politik ekonomi. Mereka yang membuat aturan, mereka yang mengawasi, dan gilanya lagi, mereka pula yang melanggar.
Kuatnya desakan publik untuk mencopot Kapolri karena dianggap tidak profesional serta lalai sehingga timbul anarkisme dan hilangnya nyawa manusia, tidak direspon secara proporsional oleh satu partai politik pun. Fakta ini menegaskan bahwa partai politik tidak aspiratif dan tidak peka terhadap keinginan rakyat. Partai politik tidak hanya melecehkan rakyat, tetapi juga tidak memiliki ketajaman daya kritis melihat persoalan. Dan masalah partai politik yang paling krusial adalah hilangnya nilai-nilai moral dan etika politik yang menjadi penghalang Indonesia menuju kemajuan.
Peristiwa Agustus 2025 kelabu harus menjadi starting poin bangsa Indonesia untuk berbenah. Etika kehidupan berbangsa sesuai TAP MPR NOMOR VI/MPR/2001 seharusnya dijadikan regulasi untuk menata kehidupan kenegaraan yang lebih baik. Dari sana partai-partai politik mestinya lebih selektif mempersiapkan kadernya dengan bekal moral dan intelektual yang memadai.
Menjadi legislator merupakan hak warga negara, tetapi harus memiliki kemampuan dan integritas, baik moral maupun intelektual. Dan mampu mewakili rakyat yang memilih, mengakomodir kebutuhan mereka, serta bersungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan negara dan bangsa.
Sedangkan sanksi objektif terhadap partai politik yang kadernya terlibat persoalan kriminal, adalah pencabutan hak politiknya. Partai bersangkutan tidak dibenarkan maju di daerah pemilihan (Dapil), tempat dimana kader partai tersebut berasal. Sanksi demikian akan memberi efek jera dan menguji akuntabilitas publik. Hal tersebut demi menempatkan kredibilitas partai politik di mata masyarakat.
*) Dr H Tumpal Panggabean MA adalah Ketua Umum Presidium ICMI Muda Pusat.