SUMUTPOS.CO – Berkaca dari bencana banjir bandang yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini, masyarakat Kabupaten Dairi menolak rencana aktivitas tambang PT Dairi Prima Minerals (DPM). Pasalnya, aktivitas tambang seng-timah hitam tersebut mengancam keselamatan masyarakat di sana, karena berpotensi merusak lingkungan, lahan pertanian, dan mengancam keselamatan jiwa, terutama karena Dairi berstatus zona rawan gempa.
SEBELUMNYA, masyarakat Dairi sempat memenangkan gugatan di Mahkamah Agung pada Mei 2025 lalu. Kini, masyarakat Dairi harus kembali berhadapan dengan usulan Adendum Amdal baru yang dinilai manipulatif dan berbahaya bagi keselamatan warga.
Merespons hal tersebut, masyarakat bersama Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) telah melayangkan pengaduan resmi ke Prosedur Khusus PBB di Jenewa. Langkah ini diambil karena adanya kekhawatiran atas keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan, meskipun rekam jejak lingkungan perusahaan induknya di luar negeri sangat buruk.
Dalam konfrensi pers Bakumsu, di Jangga House, Jalan Seituan Medan, Kamis (18/12), terungkap dalam dokumen terbarunya, PT DPM berencana mencampur seluruh limbah tambang (tailing) dengan semen untuk dikembalikan ke lubang bawah tanah. Namun, Dr Steven Emerman, ahli yang meninjau dokumen tersebut, menyebut rencana itu sebagai sebuah kemustahilan fisik karena volume batuan yang diolah pasti akan membesar.
“Ini adalah langkah yang mustahil. Materi yang ditambang akan bertambah volumenya saat diekstraksi. Menurut standar industri, hanya 50-60 persen tailing yang dapat dimasukkan kembali. DPM pada akhirnya tetap harus membangun bendungan tailing di permukaan untuk menampung sekitar 2,5 juta ton limbah,” tegas Dr Emerman.
Ia menambahkan, ini adalah usulan tambang paling tidak bertanggung jawab yang pernah ia tinjau selama bertahun-tahun. Ketidakpuasan mendalam dirasakan langsung oleh warga terdampak. Susandi Panjaitan dari Desa Pandiangan mengungkapkan kekhawatirannya atas hilangnya transparansi dalam proses baru ini.
“Sangat melegakan akhirnya Persetujuan Lingkungan DPM dibatalkan pada Mei lalu. Namun, sekarang mereka kembali lagi dan masih mengusulkan tambang yang bisa mengancam kehidupan dan lingkungan kami. Kami tidak diajak berdiskusi tentang Adendum Amdal yang baru ini. DPM hanya bicara dengan orang-orang yang tidak tahu bahaya tambang,” ujar Susandi.
Senada dengan warga, Nurleli Sihotang dari Unit Bantuan Hukum Bakumsu menyoroti adanya pelanggaran prosedur dalam sidang Komisi EIA Nasional pada akhir November lalu. Menurutnya, pemberitahuan undangan hanya diberikan 1-2 hari sebelum sidang, padahal aturan mewajibkan minimal 5 hari. “Kasus Mahkamah Agung sebelumnya, dan kini Tambahan Studi Dampak Lingkungan (Amdal) ini, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak diterapkan dengan benar. Hak-hak masyarakat dan lingkungan sedang disalahgunakan,” katanya.
Dalam hal ini, masyarakat menilai pemerintah cenderung ‘menutup mata’ demi mendukung proyek tersebut, terutama setelah adanya laporan dukungan kebijakan bagi perusahaan induk DPM yang merupakan perusahaan milik negara China. Hal inilah yang mendorong warga membawa kasus ini ke level internasional.
Direktur Bakumsu Juniaty Aritonang mendesak Pemerintah Indonesia untuk terbuka terhadap kehadiran tim investigator PBB. “Masyarakat setempat telah meminta Pelapor Khusus PBB tentang Bahan Beracun untuk menyelidiki kasus ini. Jika pemerintah tidak memiliki apa pun yang perlu disembunyikan, mereka akan mengundang Para Pelapor Khusus. Jika tidak, kita akan tahu bahwa Pemerintah Indonesia takut akan transparansi,” tegasnya.
Harapan besar juga disampaikan oleh Opung Gisel, warga Desa Bongkaras, yang merasa perlindungan negara telah hilang. “Kami memiliki pemerintah yang seharusnya melindungi kami, tapi mereka justru mendekati perusahaan yang membuat rencana berbahaya. Kami harus pergi ke PBB dengan harapan mereka dapat membawa kemandirian dalam hal ini,” pungkasnya. (dwi/adz)
SUMUTPOS.CO – Berkaca dari bencana banjir bandang yang terjadi di Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini, masyarakat Kabupaten Dairi menolak rencana aktivitas tambang PT Dairi Prima Minerals (DPM). Pasalnya, aktivitas tambang seng-timah hitam tersebut mengancam keselamatan masyarakat di sana, karena berpotensi merusak lingkungan, lahan pertanian, dan mengancam keselamatan jiwa, terutama karena Dairi berstatus zona rawan gempa.
SEBELUMNYA, masyarakat Dairi sempat memenangkan gugatan di Mahkamah Agung pada Mei 2025 lalu. Kini, masyarakat Dairi harus kembali berhadapan dengan usulan Adendum Amdal baru yang dinilai manipulatif dan berbahaya bagi keselamatan warga.
Merespons hal tersebut, masyarakat bersama Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) telah melayangkan pengaduan resmi ke Prosedur Khusus PBB di Jenewa. Langkah ini diambil karena adanya kekhawatiran atas keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan, meskipun rekam jejak lingkungan perusahaan induknya di luar negeri sangat buruk.
Dalam konfrensi pers Bakumsu, di Jangga House, Jalan Seituan Medan, Kamis (18/12), terungkap dalam dokumen terbarunya, PT DPM berencana mencampur seluruh limbah tambang (tailing) dengan semen untuk dikembalikan ke lubang bawah tanah. Namun, Dr Steven Emerman, ahli yang meninjau dokumen tersebut, menyebut rencana itu sebagai sebuah kemustahilan fisik karena volume batuan yang diolah pasti akan membesar.
“Ini adalah langkah yang mustahil. Materi yang ditambang akan bertambah volumenya saat diekstraksi. Menurut standar industri, hanya 50-60 persen tailing yang dapat dimasukkan kembali. DPM pada akhirnya tetap harus membangun bendungan tailing di permukaan untuk menampung sekitar 2,5 juta ton limbah,” tegas Dr Emerman.
Ia menambahkan, ini adalah usulan tambang paling tidak bertanggung jawab yang pernah ia tinjau selama bertahun-tahun. Ketidakpuasan mendalam dirasakan langsung oleh warga terdampak. Susandi Panjaitan dari Desa Pandiangan mengungkapkan kekhawatirannya atas hilangnya transparansi dalam proses baru ini.
“Sangat melegakan akhirnya Persetujuan Lingkungan DPM dibatalkan pada Mei lalu. Namun, sekarang mereka kembali lagi dan masih mengusulkan tambang yang bisa mengancam kehidupan dan lingkungan kami. Kami tidak diajak berdiskusi tentang Adendum Amdal yang baru ini. DPM hanya bicara dengan orang-orang yang tidak tahu bahaya tambang,” ujar Susandi.
Senada dengan warga, Nurleli Sihotang dari Unit Bantuan Hukum Bakumsu menyoroti adanya pelanggaran prosedur dalam sidang Komisi EIA Nasional pada akhir November lalu. Menurutnya, pemberitahuan undangan hanya diberikan 1-2 hari sebelum sidang, padahal aturan mewajibkan minimal 5 hari. “Kasus Mahkamah Agung sebelumnya, dan kini Tambahan Studi Dampak Lingkungan (Amdal) ini, menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak diterapkan dengan benar. Hak-hak masyarakat dan lingkungan sedang disalahgunakan,” katanya.
Dalam hal ini, masyarakat menilai pemerintah cenderung ‘menutup mata’ demi mendukung proyek tersebut, terutama setelah adanya laporan dukungan kebijakan bagi perusahaan induk DPM yang merupakan perusahaan milik negara China. Hal inilah yang mendorong warga membawa kasus ini ke level internasional.
Direktur Bakumsu Juniaty Aritonang mendesak Pemerintah Indonesia untuk terbuka terhadap kehadiran tim investigator PBB. “Masyarakat setempat telah meminta Pelapor Khusus PBB tentang Bahan Beracun untuk menyelidiki kasus ini. Jika pemerintah tidak memiliki apa pun yang perlu disembunyikan, mereka akan mengundang Para Pelapor Khusus. Jika tidak, kita akan tahu bahwa Pemerintah Indonesia takut akan transparansi,” tegasnya.
Harapan besar juga disampaikan oleh Opung Gisel, warga Desa Bongkaras, yang merasa perlindungan negara telah hilang. “Kami memiliki pemerintah yang seharusnya melindungi kami, tapi mereka justru mendekati perusahaan yang membuat rencana berbahaya. Kami harus pergi ke PBB dengan harapan mereka dapat membawa kemandirian dalam hal ini,” pungkasnya. (dwi/adz)

1 hour ago
1

















































