JAYAPURA – Konflik bersenjata di wilayah Papua Pegunungan terus terjadi. Tidak sedikit masyarakat di kampung memiliki meninggalkan kampung dan masuk ke hutan lantaran ketakutan. Itu terjadi akibat konflik bersenjata antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan aparat TNI Polti yang berkepanjangan.
Salah satu wilayah yang juga terdampak adalah Kabupaten Lanny Jaya. Kabupaten ini , belakangan menjadi sorotan setelah Dugi Telenggen alias Dugwi Kogoya, salah satu pentolan KKB Puncak, diringkus Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz, Senin (27/10).
Wilayah ini diketahui telah menjadi salah satu daerah di Papua Pegunungan yang telah berubah menjadi panggung tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan.
Berbagai pendekatan telah dilakukan oleh pemerintah, namun seakan tidak menemukan titik terang. Kemudian pendekatan keamanan yang dominan belum mampu menghentikan siklus kekerasan diwilayah tersebut. Lingkungan informasi yang tertutup semakin membuat situasi mencekam. Peristiwa ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak tak terkecuali mahasiswa. Banyak yang menilai konflik ini telah membunuh dan menghilangkan masa depan anak-anak usia sekolah.
Karena itu, Himpunan Mahasiswa Pelajar Lanny Jaya (HMPLJ) di Kota Jayapura, Papua mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto manarik militer dari wilayah Kabupaten Lanny Jaya.
“Kepada Presiden Prabowo Subianto kami minta segera menarik seluruh militer non organik dari wilayah Wunabunggu Distrik Melagai, Kuyawagi, Goa Balim, Wano Barat, di Lanny Jaya,” kata Robby Wanimbo, Koordinator Umum mahasiswa HMPLJ Kota Jayapura saat menggelar mimbar di halaman asrama Putra Lanny Jaya, kepada Distrik Heram Kota Jayapura, Papua, Sabtu (1/11).
Wanimbo menjelaskan, sejak 5 Oktober 2025 militer telah melakukan penyisiran di sejumlah kampung di Lanny Jaya. Operasi yang melibatkan Pasukan TNI non-organik mengakibatkan pengungsian besar-besaran ke wilayah sekitar seperti Kuyawagi dan Tiom.
Ungkapnya perempuan, anak-anak, dan lansia melarikan diri ke hutan dan bukit-bukit untuk menyelamatkan diri. Selain kehilangan tempat tinggal, mereka kini hidup dalam rasa takut, trauma, dan ketidakpastian.
JAYAPURA – Konflik bersenjata di wilayah Papua Pegunungan terus terjadi. Tidak sedikit masyarakat di kampung memiliki meninggalkan kampung dan masuk ke hutan lantaran ketakutan. Itu terjadi akibat konflik bersenjata antara Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan aparat TNI Polti yang berkepanjangan.
Salah satu wilayah yang juga terdampak adalah Kabupaten Lanny Jaya. Kabupaten ini , belakangan menjadi sorotan setelah Dugi Telenggen alias Dugwi Kogoya, salah satu pentolan KKB Puncak, diringkus Satuan Tugas Operasi Damai Cartenz, Senin (27/10).
Wilayah ini diketahui telah menjadi salah satu daerah di Papua Pegunungan yang telah berubah menjadi panggung tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan.
Berbagai pendekatan telah dilakukan oleh pemerintah, namun seakan tidak menemukan titik terang. Kemudian pendekatan keamanan yang dominan belum mampu menghentikan siklus kekerasan diwilayah tersebut. Lingkungan informasi yang tertutup semakin membuat situasi mencekam. Peristiwa ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak tak terkecuali mahasiswa. Banyak yang menilai konflik ini telah membunuh dan menghilangkan masa depan anak-anak usia sekolah.
Karena itu, Himpunan Mahasiswa Pelajar Lanny Jaya (HMPLJ) di Kota Jayapura, Papua mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto manarik militer dari wilayah Kabupaten Lanny Jaya.
“Kepada Presiden Prabowo Subianto kami minta segera menarik seluruh militer non organik dari wilayah Wunabunggu Distrik Melagai, Kuyawagi, Goa Balim, Wano Barat, di Lanny Jaya,” kata Robby Wanimbo, Koordinator Umum mahasiswa HMPLJ Kota Jayapura saat menggelar mimbar di halaman asrama Putra Lanny Jaya, kepada Distrik Heram Kota Jayapura, Papua, Sabtu (1/11).
Wanimbo menjelaskan, sejak 5 Oktober 2025 militer telah melakukan penyisiran di sejumlah kampung di Lanny Jaya. Operasi yang melibatkan Pasukan TNI non-organik mengakibatkan pengungsian besar-besaran ke wilayah sekitar seperti Kuyawagi dan Tiom.
Ungkapnya perempuan, anak-anak, dan lansia melarikan diri ke hutan dan bukit-bukit untuk menyelamatkan diri. Selain kehilangan tempat tinggal, mereka kini hidup dalam rasa takut, trauma, dan ketidakpastian.


















































