Tepatkah Langkah Prabowo Menghapus Utang UMKM? Ini Kata Pakar

1 week ago 6

Kredit menjadi salah satu sumber pembiayaan UMKM. Namun, bagi UMKM yang kurang berhasil mengembangkan bisnisnya setelah menerima kredit, akan terbebani dengan kewajiban membayar. Alhasil terjadilah gagal bayar atau kredit macet. 

Langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengeluarkan kebijakan penghapusan utang UMKM ini merupakan angin segar yang dinantikan. 

Dihubungi RMOL pada Jumat 8 November 2024, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan ia mengapresiasi langkah Prabowo tersebut. 

Ia mengatakan, penghapusan utang atau hak tagih bank kepada para UMKM atau peminjam yang telah dihapusbukukan utangnya itu berdampak positif secara ekonomi, baik untuk pihak pengutang maupun perbankan.

"Saya pikir sudah tepat asalkan ada kriteria, pra syarat yang jelas untuk menghindarkan aji mumpung atau tidak mau membayar, moral hazard), dan tindakan kriminal dan kredit fiktif," katanya kepada RMOL.

"Hapus utang secara regular, dengan periode berbeda; ada yang 3 tahun, 5 tahun, dan seterusnya, lazim dilakukan di banyak negara supaya debitur tidak selamanya masuk black list dan bisa kembali memulai bisnisnya kembali dan ada akses ke perbankan. Ini membantu ekonomi kembali bergerak secara optimal," tandasnya.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan kebijakan penghapusan utang sebesar Rp10 triliun untuk 1 juta UMKM oleh Prabowo memang memiliki tujuan mulia, yaitu meringankan beban usaha kecil yang terhimpit kondisi ekonomi berat.

Dengan penghapusan utang ini, diharapkan pelaku UMKM dapat pulih, mengakses kembali permodalan, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, menurut Achmad Nur Hidayat kebijakan ini berisiko tidak tepat sasaran karena berpotensi dimanfaatkan oleh oknum yang tidak memenuhi kriteria atau bahkan tidak terkait dengan UMKM.

"Kesalahan sasaran ini dapat terjadi bila pengawasan yang ketat tidak diterapkan, sehingga memungkinkan munculnya pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi dari program ini," kata Achmad Nur Hidayat kepada media, dikutip Jumat 8 November 2024.

Tentang syarat-syarat yang diberlakukan untuk UMKM penerima bantuan penghapusan utang yaitu; yaitu plafon utang di bawah Rp500 juta, terdampak oleh bencana, dan berfokus pada sektor-sektor tertentu seperti pertanian dan perikanan, Achmad menilai sudah merupakan langkah awal yang baik.

Namun, ia menilai perlu syarat tambahan untuk memastikan kebijakan ini tepat sasaran dan adil bagi seluruh pelaku UMKM. Pemerintah harus mempertimbangkan syarat bahwa calon penerima manfaat telah melalui upaya restrukturisasi kredit sebelumnya.

Artinya, sebelum utangnya dihapus, UMKM tersebut sudah berupaya memenuhi kewajibannya melalui restrukturisasi yang difasilitasi oleh pihak bank, tetapi tetap tidak mampu melunasi karena alasan-alasan tertentu yang valid.

Kemudian perlu meninjau lagi masa tunggakan. 

"Penghapusan utang benar-benar diberikan kepada UMKM yang menghadapi kesulitan jangka panjang, bukan mereka yang baru mengalami gagal bayar," ujar Achmad. 

Pakar Ekonomi UMSurabaya, Arin Setyowati, memandang kebijakan penghapusan utang ini memiliki implikasi kompleks yang perlu diperhatikan. 

Menurut Arin, data BPS menunjukkan jumlah rumah tangga petani di Indonesia berjumlah 27.368.975 rumah tangga, jumlah nelayan sekitar 2.773.538 orang dan jumlah UMKM di Indonesia tahun 2023 mencapai sekitar 66 juta. 

“Kebijakan tersebut memberikan dampak positif dalam pemulihan sektor akar rumput melalui pengurangan beban keuangan dan mendorong aktivitas ekonomi, mengingat bahwa dengan terbebasnya mereka dari kewajiban membayar cicilan, mereka bisa meningkatkan produktifitas akibat lemahnya kondisi ekonomi,” ujar Arin, dikutip dari laman um-Surabaya.

Kemudian ia memandang adanya peningkatan konsumsi dan permintaan domestik karena kebijakan tersebut berkontribusi besar pada PDB dan penyerapan tenaga kerja karena meningkatnya konsumsi rumah tangga dan permintaan domestik. 

Namun, Arin mengingatkan tentang potensi risiko ekonomi yang harus disikapi, yakni potensi terjadinya moral hazard, berupa ketergantungan pada bantuan pemerintah. 

Moral hazard dapat muncul ketika pelaku usaha merasa aman untuk tidak memenuhi kewajiban finansial karena berharap bahwa utangnya akan dihapuskan oleh pemerintah di masa depan.

Arin menekankan, hal ini akan memberikan tekanan terhadap perbankan dan stabilitas keuangan hingga beban fiskal pemerintah, dan risiko akses kredit pada masa yang akan datang. 

Ia mengatakan, ada beberapa alternatif prioritas kebijakan yang lebih sistematis dan berkelanjutan yang bisa dilakukan.

Pertama, restrukturisasi utang, yaitu melakukan formulasi ulang atas akad kredit yang sudah dilakukan antara pihak bank dengan nasabah melalui tawaran perpanjangan tenor, penurunan bunga, guna mengurangi beban nasabah yang berpotensi risiko gagal bayar tanpa harus menghapus utang sepenuhnya. 

Kedua, pemberian subsidi dan asuransi kredit. Ketiga, peningkatan akses pembiayaan alternatif berupa pembiayaan mikro dan fintech untuk mendukung modal kerja bagi sektor pertanian, kemaritiman dan UMKM melalui kebijakan insentif untuk lembaga keuangan non-bank. rmol news logo article

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|