Rekreasi Prasetyo di Minggu pukul 12.35 WIB nan cerah di hotel yang asri itu, seketika ambyar saat ia digerebek di kamarnya. Ia lalu diangkut ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa, tiga jam. Jelang petang, ia ditetapkan tersangka, lalu dikirim ke Rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Di masa tua dan sudah pensiun, berjalan pun harus pakai tongkat penyangga kaki kiri, Prasetyo jadi salah satu dari ribuan tersangka dan bekas tersangka korupsi di Indonesia. Dengan begitu, apa pun pekerjaannya di masa lalu, kini berakhir dengan citra buruk.
Berdasar data Kemenhub, Prasetyo lahir di Surabaya, 21 November 1959. Ia meraih gelar sarjana strata satu di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, lulus 1985. Pada 2006 ia meraih gelar master pada prodi Magister Manajemen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ia pernah menjadi Direktur Keselamatan Perkeretaapian selama 1,5 bulan, pada 6 Oktober hingga 16 November 2015. Selanjutnya, ia jadi Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api selama 1,5 bulan, 16 November 2015 hingga 5 Januari 2016.
Kemudian, jadi Direktur Prasarana Perkeretaapian selama lebih kurang 4,5 bulan, 5 Januari hingga 16 Mei 2016. Di hari yang sama, Prasetyo langsung dilantik sebagai Dirjen Perkeretaapian, menggantikan Hermanto Dwiatmoko.
Pada 2017 Prasetyo dipindah tugas dari Dirjen Perkeretaapian (digantikan oleh Budi Karya Sumadi, yang kemudian menjadi Menteri Perhubungan). Prasetyo dipindah tugas menjadi Staf Ahli Bidang Teknologi, Lingkungan, dan Energi Kemenhub, sampai pensiun.
Nah, saat ia Dirjen Perkeretaapian ia diduga korupsi. Merekayasa kemenangan tender. Sehingga negara dirugikan Rp1,1 triliun. Kronologi kasusnya demikian:
Pada 2017 Balai Teknis Perkeretaapian (BTP) kelas 1 Medan membangun jalur kereta api Trans Sumatera Railways untuk program 2017 sampai 2023. Salah satu dari proyek itu adalah membangun jalur KA Besitang-Langsa (Aceh). Jalur tersebut menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dan Aceh dengan anggaran Rp1,3 triliun.
Direktur Penyidikan, Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers, Minggu, 3 November 2024 mengatakan: "Anggaran pembangunan Rp1,3 triliun itu bersumber dari SBSN, surat berharga syariah negara."
Dalam pelaksanaan proyek itu, Prasetyo meminta kuasa pengguna anggaran (KPA), Nur Setiawan Sidik (kini jadi terdakwa, proses diadili) untuk memecah pekerjaan konstruksi menjadi 11 paket. Serta meminta kepada Nur Setiawan Sidik agar memenangkan delapan perusahaan (ditentukan Prasetyo) dalam proses lelang.
Semua perintah Prasetyo dilaksanakan Nur. Proses pemenangan tender pun direkayasa. Mulai dari lelang konstruksi tanpa dilengkapi dokumen teknis pengadaan yang disetujui pejabat teknis, hingga pemilihan metode kualifikasi pengadaan bertentangan dengan regulasi pengadaan barang dan jasa.
Qohar: "Diketahui, bahwa pembangunan jalan kereta api Besitang-Langsa tidak didahului dengan FS (Feasibility Study) atau studi kelayakan. Juga, tidak terdapat dokumen penetapan trase kereta api yang dibuat Menhub.”
Dilanjut: “Juga, KPA PPK dan konsultan pengawas dengan sengaja memindahkan lokasi pembangunan jalur yang tidak sesuai dokumen desain dan kelas jalan. Akibatnya, jalur KA Besitang-Langsa mengalami amblas atau penurunan tanah. Akhirnya, proyek itu tidak dapat berfungsi atau hasilnya tidak dapat dipakai. Negara dirugikan Rp1,15 triliun berdasarkan audit yang dilakukan BPKP."
Untuk semua rekayasa itu, kata Qohar, Prasetyo mendapat fee (ilegal) total Rp2,6 miliar. Perinciannya dari PPK Akhmad Afif Setiawan (kini diadili sebagai terdakwa) Rp1,2 miliar. Juga mendapatkan uang sogokan dari PT WTJ Rp 1,4 miliar.
Qohar "Kami masih mendalami aliran dana yang diterima terdakwa PB (Prasetyo Boeditjahjono). Penyidik Kejagung masih terus melakukan pendalaman.”
Dilanjut: "Kasus ini diusut Kejagung sejak 4 Oktober tahun lalu. Tersangka beberapa kali dipanggil secara patut sebagai saksi, namun ia tidak mengindahkan. Oleh karenanya berkat kerjasama tim gabungan baik dari Satgas SIRI maupun jajaran Pidsus, mengamankan yang bersangkutan."
Pernyataan Qohar terakhir itu memperjelas, bahwa penangkapan Prasetyo bukan mendadak. Karena, belakangan ini Kejagung bergerak cepat menangkapi tersangka koruptor. Antara lain, bekas Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau Tom Lembong.
Kesigapan Kejagung menciduk tersangka koruptor, persis beberapa hari setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Jokowi. Kita tahu, Prabowo saat kampanye Pilpres dulu begitu galak meneriakkan bahwa negeri ini dipimpin para maling koruptor. Prabowo waktu itu, asli meneriakkan kata “maling” di panggung kampanye.
Misalnya, kampanye Prabowo dalam acara Konsolidasi Indonesia Maju Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kamis, 11 Januari 2024, ia mengatakan:
"Saya, Prabowo Subianto, bertekad, manakala saya menerima mandat dari rakyat, saya akan menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia. Saya akan hilangkan maling-maling koruptor dari bumi Indonesia. Kita hilangkan kemiskinan dari bumi Indonesia. Akibat para maling-maling koruptor itulah rakyat kita jadi miskin. Maka, malingnya kita basmi, Saudara-saudara…"
Pasti, pidato penuh semangat itu disambut sorak gembira. Prabowo janji membasmi maling koruptor dan membikin rakyat makmur. Kini, rakyat menunggu janji itu. Dan, terbukti Kejagung bergerak sangat cepat menangkapi para tersangka maling koruptor.
Ini sesungguhnya lagu lama. Basmi koruptor, sebenarnya kata-kata basi. Jargon kuno yang diulang-ulang, kenyataannya korupsi kian merajalela. Koruptor beranak-pinak, berakar, menjalar ke mana-mana. Kalau mereka diberantas, pastinya melawan, membayar orang untuk melawan. Bukti, sampai kini Indonesia negara korup parah.
Ketika Tom Lembong dibekuk Kejagung, ada tokoh masyarakat mengatakan kepada pers: “Jangan tebang pilih menangkap koruptor. Mengapa yang lain tidak ditangkap?”
Diksi ‘tebang pilih’ muncul di awal era Reformasi, seperempat abad lalu. Waktu itu terkait proses pengadilan mantan Presiden Soeharto yang waktu itu diduga korup. Maka, muncul diksi tersebut.
Orang mengucapkan kata-kata itu, ada dua kemungkinan: Pertama, ia mengetahui dengan pasti, bahwa ada banyak koruptor lain. Maka, ia bertanya-tanya, mengapa aparat penegak hukum cuma menangkap yang ini? Tebang pilih.
Kedua, orang yang mengatakan itu adalah bagian dari tersangka koruptor yang ditangkap. Bisa saudaranya, kerabat, sahabat, atau orang bayaran si tersangka.
Kata ‘tebang pilih’ menggambarkan, begitu banyaknya pohon yang mestinya ditebang. Saking banyaknya, penebang jadi bingung. Mengapa penebangan dipilih-pilih?
Terbaru, ketika aparat Kejagung menangkap Tom Lembong, dan Abdul Qohar menggelar konferensi pers, kemudian berita serta fotonya dimuat media massa.
Lalu ada warganet komentar, mengunggah di medsos: Harga jam tangan yang dipakai Qohar Rp1,2 miliar.
Maksudnya, penangkap koruptor tapi pakai jam tangan mewah. Dari mana uangnya? (menduga korupsi juga).
Ternyata, itu ditanggapi Qohar. Karena ia ditanya wartawan soal itu. Ia menjawab pertanyaan wartawan tentang itu dalam jumpa pers penangkapan Prasetyo di Kejagung RI, Minggu, 3 November 2024. Ia menjawab, begini:
“Harga jam tangan saya ini Rp4 juta. Saya beli di pasar sudah lama, sekitar lima tahun lalu.”
Dilanjut: "Kenapa saya bilang jam ini sudah lama? Ini bautnya sudah hilang. Ini… dua baut ini. Biar dilihat… ini loh. Ini harganya Rp4 juta. Bagi saya Rp4 juta sudah mahal."
Sudah, puas? Apakah masyarakat penyerang aparat penangkap koruptor, sudah puas?
Soal jam tangan, akibat kata perlawanan ‘tebang pilih’ sudah basi. Maka, diteropong-lah jam tangan yang dipakai penyidik. Ternyata juga meleset. Sebab, penyidiknya berani buka harga jam itu. Tanda, bahwa negeri ini sudah parah korupsi.
Penulis adalah Wartawan Senior