JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel diperkirakan membawa dampak serius bagi sektor ekonomi dan ketenagakerjaan di Indonesia. Di tengah situasi global yang belum stabil, sejumlah pihak mulai mewaspadai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan terganggunya arus wisatawan mancanegara, terutama ke Bali.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengungkapkan keprihatinannya atas potensi gelombang PHK yang bisa mencapai lebih dari 100 ribu orang jika konflik berkepanjangan. Menurutnya, pengalaman dari perang Rusia-Ukraina menjadi pelajaran bahwa krisis global memiliki dampak nyata terhadap lapangan kerja di Indonesia. Ia menyebut sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, teknologi, dan otomotif mulai merasakan tekanan.
“Kami sudah menerima sinyal dari beberapa perusahaan besar yang menyampaikan kekhawatiran mereka akan dampak konflik ini. Jika tidak segera mereda, PHK bisa terjadi dalam skala yang besar,” ujar Mirah.
Catatan ASPIRASI menunjukkan bahwa sejak Januari hingga Mei 2025, sekitar 78 ribu pekerja telah terkena PHK, mayoritas berasal dari sektor ritel dan perbankan. Sementara data resmi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat angka lebih rendah, yaitu 26.455 orang dalam periode yang sama, dengan Jawa Tengah sebagai wilayah terdampak tertinggi.
Tak hanya industri manufaktur, sektor pariwisata juga mulai merasakan imbasnya. Bali, sebagai destinasi wisata utama Indonesia, menghadapi kekhawatiran besar terkait menurunnya arus wisatawan asing, terutama dari Eropa. Konflik Iran-Israel memicu gangguan penerbangan internasional yang melintasi wilayah Timur Tengah, termasuk rute populer ke Bali. Maskapai yang sebelumnya mengandalkan transit di Dubai atau Doha kini terpaksa mengalihkan atau membatalkan jadwalnya.
Kepala Dinas Pariwisata Bali menyebut bahwa sejak awal 2025, terjadi penurunan tingkat hunian hotel dan kunjungan wisatawan saat musim sepi. Hal ini diperkirakan akan memburuk jika konflik berlanjut, karena sebagian besar wisatawan Eropa harus mencari rute alternatif yang lebih mahal dan memakan waktu.
Tak hanya itu, efek lanjutan dari konflik diprediksi mendorong harga minyak dunia naik, yang secara otomatis meningkatkan biaya operasional sektor transportasi dan logistik. Jika pemerintah tidak mampu meredam inflasi melalui subsidi, maka daya beli masyarakat juga akan terganggu, termasuk sektor wisata domestik.
Kementerian Keuangan sendiri menyatakan bahwa kondisi pasar keuangan nasional sejauh ini masih dalam batas aman. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, mengatakan bahwa mekanisme pasar masih berjalan normal, meski terdapat penurunan minat risiko (risk appetite). Harga minyak, meski naik, masih di bawah asumsi APBN 2025, sehingga ruang fiskal masih tersedia untuk menahan tekanan inflasi.
“APBN tetap berfungsi sebagai peredam kejut. Harga BBM masih dapat dikendalikan melalui subsidi dan kompensasi. Koordinasi lintas lembaga juga terus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk,” jelas Deni.
Namun, ia juga menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap transmisi risiko global. Pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan terus memantau situasi dan menyiapkan langkah mitigasi dini.
Di sisi lain, sektor pariwisata Bali juga harus bersiap dengan skenario terburuk. Jika kunjungan wisatawan terus menurun, pekerja pariwisata—terutama yang bekerja di hotel, restoran, dan sektor informal—akan menjadi kelompok yang paling rentan terkena dampaknya. Absennya negara-negara Timur Tengah dalam event internasional di Bali, seperti Kejuaraan Anggar Asia 2025, menjadi sinyal awal menurunnya partisipasi internasional karena alasan keamanan dan aksesibilitas.
Meskipun Bali secara geografis jauh dari zona konflik, persepsi global tentang risiko keamanan dan ketidakpastian rute penerbangan tetap memengaruhi minat wisatawan asing. Jika dibiarkan, krisis ini bukan hanya berdampak pada ekonomi daerah, tetapi juga menimbulkan tekanan sosial dan lingkungan.
Pemerintah daerah dan pelaku industri pariwisata Bali didorong untuk segera merespons dengan strategi adaptif. Diversifikasi pasar wisatawan, pengembangan infrastruktur penerbangan alternatif, serta komunikasi krisis yang efektif menjadi langkah-langkah penting untuk menjaga daya saing Bali di tengah turbulensi global.
Dari sektor industri hingga pariwisata, semua pihak kini harus bersiap menghadapi kemungkinan gelombang guncangan ekonomi. Konflik Iran-Israel menjadi pengingat betapa terhubungnya perekonomian nasional dengan dinamika global, dan pentingnya kebijakan yang adaptif, kolaboratif, serta berorientasi pada ketahanan jangka panjang. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.