JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menuai gelombang penolakan dari berbagai pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai langkah tersebut sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru.
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jessenia Destarini, menyebut usulan ini bukan hanya bermasalah, tetapi juga berbahaya. “Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pelecehan terhadap martabat para korban dan melukai perasaan mereka,” ujarnya, Sabtu (12/4/2025).
Menurut KontraS, masa pemerintahan Soeharto sarat dengan pelanggaran HAM berat, represi terhadap kebebasan sipil, perampasan lahan, eksploitasi sumber daya alam, militerisasi kehidupan warga, serta maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). “Wacana ini mengarah pada pemutihan sejarah dan menutupi jejak kejahatan negara,” tegas Jessenia.
Meski demikian, Kementerian Sosial (Kemensos) memastikan proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional tetap berjalan sesuai mekanisme. Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan nama Soeharto memang termasuk dalam daftar yang tengah dibahas oleh tim penilai. “Selain Pak Harto, ada juga nama Gus Dur (Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid),” ujarnya kepada Tempo, Selasa (16/4/2025).
Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah, mengatakan bahwa usulan terhadap Soeharto bukanlah hal baru. “Sudah muncul sejak beberapa tahun lalu. Dulu terkendala oleh TAP MPR, tapi sekarang kan TAP itu sudah dicabut,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa tugas Kemensos hanyalah menjalankan mekanisme yang berlaku. “Kalau tidak ada aturan yang dilanggar, ya kami harus menindaklanjutinya,” katanya.
Pengusulan gelar pahlawan, lanjut Saifullah, tidak bisa dilakukan oleh individu secara langsung. Prosesnya dimulai dari daerah kelahiran tokoh yang bersangkutan. “Harus dibahas dulu di tingkat kabupaten, lalu provinsi, dan selanjutnya dibawa ke pusat. Di sana ada tim penilai yang terdiri dari sejarawan, akademisi, hingga tokoh masyarakat,” paparnya.
Setelah melalui tahapan penilaian, hasilnya akan diserahkan ke Dewan Gelar sebelum akhirnya diputuskan oleh Presiden.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, khususnya Pasal 25 dan 26, seseorang yang diajukan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional harus memenuhi sejumlah syarat umum dan khusus.
Syarat umum antara lain:
- Warga Negara Indonesia atau yang berjuang di wilayah NKRI,
- Memiliki integritas moral tinggi,
- Berjasa besar bagi bangsa dan negara,
- Tidak pernah dihukum penjara lebih dari lima tahun atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Adapun syarat khusus mencakup keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, penciptaan karya besar yang bermanfaat luas, hingga dedikasi dalam memperjuangkan persatuan bangsa.
Namun, KontraS menilai Soeharto tidak memenuhi semangat moral dan historis dari persyaratan tersebut. “Reformasi bukan hanya soal pergantian presiden, tapi momen perubahan struktural menuju penghormatan HAM. Memberi gelar kepada Soeharto justru bertentangan dengan semangat itu,” ucap Jessenia.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa gelar pahlawan nasional semestinya mencerminkan nilai perjuangan yang inklusif, adil, dan tak menafikan penderitaan sejarah. “Pemerintah seakan memaklumi tanggung jawab Soeharto atas berbagai kejahatan HAM, ini membangun pola pikir impunitas yang sangat berbahaya,” tuturnya.