JAYAPURA-Mantan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Constant Karma, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas meningkatnya kasus HIV/AIDS di Papua dalam beberapa tahun terakhir. Ia menilai, kurangnya program pencegahan selama lima tahun terakhir menyebabkan lonjakan signifikan kasus baru, yang mencapai lebih dari 56 ribu kasus hingga akhir 2024.
“Pada 2006, prevalensi HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat tercatat sebesar 2,4 persen. Angka ini sedikit menurun menjadi 2,3 persen pada 2013, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Sosial dan Bank Dunia,” ungkap Karma saat ditemui di kediamannya, Sabtu (31/5).
Namun, setelah 2013 tidak ada survei menyeluruh dilakukan. “Survei terbaru baru dilakukan di Tolikara oleh Universitas Indonesia bersama lembaga donor. Setelah 2013, tidak ada survei nasional yang menyeluruh lagi,” katanya.
Constant Karma menjelaskan, HIV/AIDS berbeda dengan Covid-19. Jika Covid-19 adalah penyakit akut dengan penyebaran cepat, maka HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang gejalanya baru muncul setelah bertahun-tahun.
“Kalau seseorang terinfeksi hari ini karena berganti-ganti pasangan, bisa saja baru terdeteksi enam bulan kemudian, bahkan berkembang menjadi AIDS setelah empat hingga lima tahun,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman masyarakat tentang masa jendela HIV periode setelah tertular namun hasil tes masih negatif. “Kalau tidak tes, orang bisa terus menularkan ke pasangan tanpa sadar,” tambahnya.
Kementerian Kesehatan saat ini menerapkan kebijakan pemberian obat antiretroviral (ARV) segera setelah seseorang dinyatakan positif HIV, guna mencegah penularan lebih lanjut. Data Dinas Kesehatan Kota Jayapura mencatat 1.278 kasus baru HIV/AIDS sepanjang 2024. “Mereka yang terdeteksi langsung diberikan ARV agar tidak menularkan ke orang lain,” jelas Karma.
Namun, ia mengungkapkan pelaksanaan terapi ARV belum optimal. Dari data yang diterimanya, hanya 26 persen Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang rutin minum obat, 35 persen putus obat, dan sisanya tidak teratur.
Karma juga menegaskan bahwa HIV paling banyak menular melalui hubungan seksual, bukan melalui udara seperti Covid-19. “Saya mengimbau masyarakat untuk rutin melakukan tes HIV, menghindari perilaku seksual berisiko, serta menggunakan kondom jika tidak bisa menghindari,” imbuhnya.
JAYAPURA-Mantan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Constant Karma, mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas meningkatnya kasus HIV/AIDS di Papua dalam beberapa tahun terakhir. Ia menilai, kurangnya program pencegahan selama lima tahun terakhir menyebabkan lonjakan signifikan kasus baru, yang mencapai lebih dari 56 ribu kasus hingga akhir 2024.
“Pada 2006, prevalensi HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat tercatat sebesar 2,4 persen. Angka ini sedikit menurun menjadi 2,3 persen pada 2013, berdasarkan survei Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Sosial dan Bank Dunia,” ungkap Karma saat ditemui di kediamannya, Sabtu (31/5).
Namun, setelah 2013 tidak ada survei menyeluruh dilakukan. “Survei terbaru baru dilakukan di Tolikara oleh Universitas Indonesia bersama lembaga donor. Setelah 2013, tidak ada survei nasional yang menyeluruh lagi,” katanya.
Constant Karma menjelaskan, HIV/AIDS berbeda dengan Covid-19. Jika Covid-19 adalah penyakit akut dengan penyebaran cepat, maka HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang gejalanya baru muncul setelah bertahun-tahun.
“Kalau seseorang terinfeksi hari ini karena berganti-ganti pasangan, bisa saja baru terdeteksi enam bulan kemudian, bahkan berkembang menjadi AIDS setelah empat hingga lima tahun,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman masyarakat tentang masa jendela HIV periode setelah tertular namun hasil tes masih negatif. “Kalau tidak tes, orang bisa terus menularkan ke pasangan tanpa sadar,” tambahnya.
Kementerian Kesehatan saat ini menerapkan kebijakan pemberian obat antiretroviral (ARV) segera setelah seseorang dinyatakan positif HIV, guna mencegah penularan lebih lanjut. Data Dinas Kesehatan Kota Jayapura mencatat 1.278 kasus baru HIV/AIDS sepanjang 2024. “Mereka yang terdeteksi langsung diberikan ARV agar tidak menularkan ke orang lain,” jelas Karma.
Namun, ia mengungkapkan pelaksanaan terapi ARV belum optimal. Dari data yang diterimanya, hanya 26 persen Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang rutin minum obat, 35 persen putus obat, dan sisanya tidak teratur.
Karma juga menegaskan bahwa HIV paling banyak menular melalui hubungan seksual, bukan melalui udara seperti Covid-19. “Saya mengimbau masyarakat untuk rutin melakukan tes HIV, menghindari perilaku seksual berisiko, serta menggunakan kondom jika tidak bisa menghindari,” imbuhnya.