JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirimkan siswa bermasalah ke barak militer, dinilai melanggar hak-hak anak. Tak hanya itu saja, tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlindungan anak dalam hukum nasional dan internasional.
Penilaian itu disampaikan oleh Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Aliansi PKTA). Menurutnya, perbuatan menyimpang anak tidak serta merta merupakan keputusan yang diambilnya sendiri, melainkan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keluarga, pendidikan, lingkungan, hingga teman sebaya.
“Intervensi terhadap anak semestinya memperhatikan faktor penyebab sikap anti sosial yang cenderung kompleks,” tutur Aliansi PKTA, dikutip dari keterangan resmi pada Minggu (4/5/2025).
Aliansi PKTA menyoroti bahwa penempatan anak bermasalah di barak militer justru dapat memperparah kondisi mereka. Alih-alih membantu, pendekatan itu dinilai memberi label negatif dan mendorong stigma sosial terhadap anak. “Anak bisa dicap nakal seumur hidupnya, padahal mereka masih dalam tahap tumbuh kembang,” tegas mereka.
Koalisi tersebut menegaskan bahwa pola pendisiplinan berbasis militer bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga dianggap melanggar semangat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang tersebut mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, yaitu cara penyelesaian yang tidak menstigmatisasi dan memungkinkan anak kembali ke lingkungan sosial secara sehat.
“Anak-anak membutuhkan dukungan psikososial, bukan tekanan fisik atau pendekatan keras yang justru memperburuk keadaan mental mereka,” lanjut pernyataan koalisi.
Pendekatan militeristik yang diusung Dedi Mulyadi disebut bertentangan dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Dalam konvensi itu, negara diminta untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis.
Aliansi mengusulkan pendekatan yang lebih manusiawi dengan mengedepankan peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sebagai fondasi pembentukan karakter anak. Mereka juga mendorong optimalisasi program Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai upaya memperkuat peran orang tua dalam menghadapi anak yang berperilaku menyimpang.
Lebih jauh, Aliansi mendesak pemerintah pusat untuk menghentikan program pengiriman pelajar ke barak militer. Mereka menilai pendekatan militer sama sekali tidak relevan dalam konteks pendidikan dan perlindungan anak. Presiden Prabowo Subianto diminta untuk segera mengambil langkah tegas agar seluruh kebijakan penanganan anak selaras dengan prinsip ramah anak.
Diketahui, program pendidikan semi-militer ini mulai diterapkan sejak Kamis, 1 Mei 2025, di Purwakarta dan Bandung. Sebanyak 69 pelajar dilaporkan telah dikirim ke barak militer dalam rangka “pembinaan karakter”. Menurut Dedi Mulyadi, program ini menyasar siswa SMP yang dinilai sudah mengarah ke tindakan kriminal, atau yang orang tuanya merasa kewalahan dalam mendidik mereka.