Status Kemitraan Ojol Masih Diperdebatkan, Gojek dan Grab Tegaskan Fleksibilitas adalah Kekuatan

4 hours ago 4
Pengemudi ojek online dari berbagai aplikasi menggelar aksi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, 20 Mei 2025. Mereka menuntut pengurangan potongan aplikasi menjadi 10 persen dan pengesahan payung hukum untuk melindungi mitra pengemudi dan pengojek daring | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Status kemitraan sejauh ini masih menjadi perdebatan antara driver ojek online (ojol) dengan pihak manajemen aplikator. Perdebatan itu kembali mencuat setelah sejumlah driver yang tergabung dalam asosiasi pengemudi ojol menggelar unjuk rasa pada Selasa (20/5/2025), salah satunya menuntut perubahan status mereka dari mitra menjadi pekerja tetap.

Menanggapi tuntutan tersebut, Presiden Gojek Indonesia, Catherine Hindra Sutjahyo, menegaskan bahwa fleksibilitas adalah kekuatan utama dalam pekerjaan sebagai pengemudi ojol. Ia menyampaikan pandangannya dalam forum diskusi bersama Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi di Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).

“The power of flexibility,” ujar Catherine. Ia menjelaskan bahwa banyak mitra Gojek memilih profesi ini karena tidak terikat presensi kantor dan dapat mengatur jam kerjanya secara mandiri. Salah satu contohnya, kata dia, adalah ibu rumah tangga yang bisa bekerja setelah mengantar anak ke sekolah, lalu berhenti sejenak untuk menjemput anaknya pulang.

“Konsep bekerja seperti ini sulit dilakukan di sektor pekerjaan formal,” katanya.

Catherine juga menyebut bahwa sistem kerja fleksibel memungkinkan perluasan penyerapan tenaga kerja, bahkan berperan sebagai bantalan sosial saat terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menyebutkan, jumlah mitra Gojek meningkat tajam saat pandemi dan krisis ekonomi.

Meski fleksibel, Catherine menyatakan bahwa mitra tetap bisa memperoleh penghasilan maksimal jika memilih untuk bekerja secara penuh waktu. “Pendapatan mitra sesuai dengan kinerja mereka,” ujarnya.

Senada dengan Catherine, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza R. Munusamy, menyampaikan bahwa sekitar 50 persen mitra Grab berasal dari masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Beberapa di antaranya merupakan korban PHK atau masih menunggu pekerjaan lain.

Ia juga menambahkan, ada mitra yang telah memiliki pekerjaan utama namun bergabung menjadi ojol untuk menambah penghasilan. “Prinsip atau marwahnya (driver ojol) adalah fleksibilitas,” kata Tirza. Menurutnya, fleksibilitas memungkinkan pengemudi memilih jam kerja dan hari libur sesuai kebutuhan pribadi. “Makanya, kalau diubah menjadi pekerja tetap, marwahnya jadi tidak cocok,” imbuhnya.

Namun, pernyataan para pimpinan aplikator itu dikritik oleh Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati. Ia menilai klaim fleksibilitas kerja yang disuarakan aplikator tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

“Hanya janji-janji platform untuk merekrut pekerjanya,” ujar Lily saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Senin (19/5/2025).

Lily mengatakan, dalam praktiknya, banyak pengemudi harus bekerja lebih dari delapan jam sehari untuk mengejar target pendapatan yang layak. Ia menilai status kemitraan hanya menjadi siasat perusahaan untuk menghindari kewajiban yang seharusnya diberikan kepada pekerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Kami menuntut upah satuan waktu, yaitu yang disebut upah minimum. Jadi, kami dihargai saat waktu tunggu, saat istirahat, mendapat cuti haid dan cuti melahirkan,” tegas Lily.

www.tempo.co

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|