
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Sekalipun sebagian pihak berpendapat Pilpres di Indonesia merupakan satu paket, namun ada tiga skenario yang dapat ditempuh untuk melakukan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Demikian disampaikan Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio (Hensa), di tengah memanasnya kembali isu pemakzulan putra sulung Presiden Joko Widodo itu.
Hensa memaparkan bahwa langkah pertama yang memungkinkan adalah pengunduran diri secara sukarela dari pihak Gibran sendiri.
“Kalau Mas Gibran mau mundur secara sukarela, tentu bisa. Itu skenario pertama,” kata Hensa di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Selain mundur, opsi kedua menurut Hensa adalah melalui mekanisme konstitusi. Namun, ia menilai jalur ini tak mudah, sebab memerlukan prosedur panjang, proses politik berliku, serta menunggu momentum yang tepat.
“Bisa saja lewat jalur konstitusi, tetapi prosesnya panjang sekali. Dan pasti menunggu waktu yang pas,” imbuhnya.
Skenario ketiga yang dinilai Hensa cukup menarik—meski kontroversial—adalah membuka kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengganti Wakil Presidennya. Ia mencontohkan bagaimana MK pernah membuat keputusan yang berdampak signifikan secara cepat, seperti dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi pintu bagi Gibran mencalonkan diri sebagai wakil presiden meski usianya belum mencapai syarat minimal.
“Bisa saja ada permohonan ke MK yang menyatakan demi stabilitas negara, Presiden berhak mengganti wakilnya bila terjadi ketidakharmonisan atau kondisi mendesak. Dan MK bisa saja memutus cepat, bahkan tanpa sidang panjang,” terang Hensa.
Ia menilai, andai skenario MK terjadi, tak menutup kemungkinan presiden bisa mengganti wakilnya di tengah masa jabatan karena alasan keamanan nasional atau kepentingan negara yang mendesak.
Di luar tiga skenario itu, Hensa juga menyinggung surat pemakzulan terhadap Gibran yang sempat dilayangkan Forum Purnawirawan TNI ke DPR. Namun, hingga kini surat tersebut belum juga dibacakan di sidang paripurna.
Menurut Hensa, surat itu bisa saja sengaja “disimpan” sebagai kartu tawar politik terhadap Gibran. “Bisa jadi surat itu dipakai sebagai alat negosiasi agar wapres mengikuti kebijakan politik Pak Prabowo. Ketika saatnya tiba, surat itu bisa saja digunakan untuk memakzulkan Mas Gibran,” jelasnya.
Hensa berpendapat, selain soal posisi politik, DPR maupun partai-partai politik di parlemen juga masih berhitung siapa yang akan dipilih sebagai pengganti Gibran apabila benar-benar dimakzulkan. “Kalau Gibran lengser, harus jelas siapa penggantinya. Apakah dari partai tertentu? Sampai ada kesepakatan soal itu, saya rasa DPR belum akan membacakan surat pemakzulan,” ujarnya.
Sementara itu, tekanan agar DPR segera bersikap semakin menguat. Forum Purnawirawan Prajurit TNI, misalnya, sempat mengancam akan menduduki kompleks MPR/DPR di Senayan, Jakarta, jika lembaga legislatif terus menunda memproses usulan pemakzulan Gibran.
Ancaman itu dilontarkan mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, yang menyebut keberadaan Gibran di puncak kekuasaan sebagai kondisi genting bagi bangsa.
“Kalau kita sudah tempuh cara baik-baik, tapi diabaikan, tak ada jalan lain selain bergerak. Kita duduki MPR Senayan. Negara ini sedang berada di ujung tanduk, masih ada atau hancur. Kita semua harus bergerak menyelamatkan bangsa,” tegas Slamet dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Ketegangan politik kian terasa, di tengah polemik yang belum mereda sejak Gibran dilantik sebagai Wakil Presiden. Meski demikian, jalan menuju pemakzulan masih tampak berliku, baik secara hukum maupun politik. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.