Kampus dan Industri Gagal Bersinergi, 800-an Ribu Sarjana Nganggur

1 week ago 14
Ilustrasi pengangguran | pixabay

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ribuan lulusan perguruan tinggi di Indonesia terjebak dalam paradoks: memiliki gelar akademik, namun tak kunjung terserap dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lebih dari 842 ribu sarjana masih berstatus pengangguran per 2024.

Kondisi ini mencerminkan adanya jurang lebar antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Alih-alih menjadi mitra strategis, keduanya justru tampak berjalan di jalur masing-masing.

Gunawan Tjokro, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Negeri Semarang (UNNES), menilai relasi kampus dan industri masih canggung, bahkan terkesan tidak saling mengenal.

“Sudah banyak program dirancang seperti link and match dan Merdeka Belajar, tapi dampaknya belum terasa di masyarakat. Kampus dan industri seolah seperti dua pulau yang belum dihubungkan jembatan,” ungkap Gunawan, Minggu (22/6/2025).

Gunawan, yang juga menjabat Komisaris Utama PT Dynaplast, menilai ada empat titik persoalan utama yang membuat sinergi itu mandek: perbedaan orientasi, sumber rujukan, tujuan, dan indikator keberhasilan.

Menurutnya, kampus fokus pada pencapaian ilmiah, sementara industri lebih mementingkan solusi praktis dan kecepatan adaptasi terhadap pasar.

“Industri bicara efisiensi, produksi, dan keuntungan. Kampus bicara riset, jurnal, dan idealisme akademik. Kalau tak ada jembatan penyambung, lulusan akan terus terkatung-katung,” ujarnya.

Tak hanya itu, Gunawan juga menyoroti masalah tumpang tindih kebijakan yang makin memperlebar jarak keduanya. Ia menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi, misalnya antara UU Pendidikan Tinggi dan UU Perindustrian.

Ia mengusulkan tiga langkah konkret untuk memperbaiki keadaan: harmonisasi kebijakan lintas sektor, pembangunan platform kolaborasi digital, serta penyelesaian ego sektoral yang selama ini menghambat kerja sama konkret.

“Pendidikan tinggi harus mulai berpikir kolaboratif. Perusahaan yang mau melibatkan praktisi ke kampus perlu diberi insentif, termasuk insentif pajak. Itu akan mempercepat akselerasi,” tandasnya.

Fenomena ini juga menjadi perhatian Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar. Ia menilai banyak lulusan sarjana gagal bersaing di pasar kerja karena miskin keterampilan teknis dan tak punya sertifikasi penunjang.

“Gelar akademik tak cukup. Dunia kerja sekarang butuh lebih dari sekadar ijazah. Harus ada tambahan berupa skill, sertifikat, penguasaan teknologi, bahkan bahasa asing,” katanya.

Timboel menyarankan kurikulum pendidikan tinggi segera direformasi. Ia menilai porsi mata kuliah yang bersifat umum dan normatif perlu dikurangi, agar ada ruang lebih luas untuk pembelajaran praktis dan keterampilan kerja.

“Kalau tidak segera diubah, kampus justru akan memproduksi pengangguran terdidik. Harus ada kombinasi antara teori dan keahlian,” tegasnya.

Ia menambahkan, tantangan makin berat karena tren investasi sekarang lebih padat modal dan teknologi, yang justru menyerap lebih sedikit tenaga kerja. Artinya, kualitas SDM menjadi faktor penentu yang tak bisa ditawar.

Dengan kondisi ini, pertanyaan besar pun muncul: apakah sistem pendidikan tinggi kita siap menjawab tantangan zaman, atau justru terus terjebak dalam rutinitas yang tak relevan? [*]

Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|