JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah mengambil langkah tegas untuk menindak para pelaku kecurangan dalam perdagangan beras. Ketua YLKI, Niti Emiliana, menegaskan praktik curang di sektor perberasan telah merugikan masyarakat dengan nilai fantastis, bahkan mencapai hampir Rp 100 triliun per tahun.
“Pemerintah harus menindak tegas pelaku usaha yang mengeruk keuntungan dengan cara curang, karena kerugiannya sangat besar bagi konsumen,” ujar Niti di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), kerugian konsumen akibat berbagai pelanggaran dalam perdagangan beras ditaksir menyentuh Rp 99,35 triliun setiap tahunnya. Pelanggaran itu meliputi kualitas beras yang tidak sesuai standar, pengurangan berat, hingga harga jual yang melebihi harga eceran tertinggi (HET).
Beras Oplosan dan Mutu Tak Sesuai Standar
YLKI menyoroti temuan Kementan yang menyebutkan banyak beras premium maupun medium yang beredar di pasaran tidak sesuai ketentuan. Dari hasil investigasi gabungan Kementan bersama Satgas Pangan, Polri, Kejaksaan, hingga Badan Pangan Nasional (Bapanas), ditemukan indikasi manipulasi mutu, berat, dan harga.
“Ini sangat memprihatinkan, karena menyangkut hak konsumen untuk mendapatkan komoditas pokok dengan kualitas baik, harga wajar, dan distribusi yang lancar,” ucap Niti.
Bahkan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebelumnya mengungkap, dari pemeriksaan di 10 provinsi, sebanyak 212 merek beras dinilai bermasalah. Hasil laboratorium menunjukkan 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas HET, serta 21 persen mengalami pengurangan berat.
Dorong Sanksi Berat dan Revisi Aturan
YLKI meminta pemerintah tidak hanya mengawasi ketat peredaran beras di pasar, tetapi juga segera menjatuhkan sanksi keras kepada pelaku usaha nakal. Niti menegaskan, kecurangan berulang dengan keuntungan besar harus dihadapi tanpa kompromi.
“Tidak boleh ada toleransi bagi pelaku yang sudah terbukti berulang kali merugikan masyarakat,” katanya.
Selain sanksi hukum, YLKI mendorong pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Niti, perlu aturan yang lebih tegas dan spesifik bagi komoditas esensial, termasuk pangan.
Berdasarkan Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang tidak sesuai standar bisa diancam pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar.
Buka Posko Pengaduan Konsumen
YLKI juga membuka ruang pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat praktik curang ini. Laporan masyarakat akan dijadikan bahan evaluasi yang selanjutnya diserahkan kepada pihak berwenang.
“Kami mengimbau konsumen untuk berani melapor jika menemukan beras tidak sesuai mutu atau harga,” ujar Niti.
Sementara itu, Kementan melaporkan temuan tersebut ke Kapolri dan Jaksa Agung agar para pelaku segera diproses hukum. Potensi kerugian terbagi antara konsumen beras premium sekitar Rp 34,21 triliun per tahun, dan konsumen beras medium sekitar Rp 65,14 triliun per tahun.
“Temuan ini menjadi bukti bahwa praktik mafia beras bukan isapan jempol. Pemerintah harus serius membasmi kejahatan ini,” pungkas Niti. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.