SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Praktik pekerja anak di Indonesia masih menjadi persoalan yang belum menemukan ujung. Tak hanya masih terjadi, jumlah pekerja anak justru mengalami lonjakan signifikan dalam satu tahun terakhir.
Direktur Yayasan Kakak, Shoim Sahriyati, mengungkapkan bahwa angka pekerja anak meningkat sebesar 1,27 juta dari tahun 2023 ke 2024. Ia menyampaikan hal itu dalam keterangannya kepada rri.co.id, bertepatan dengan peringatan Hari Menentang Pekerja Anak Sedunia, Kamis (12/6/2025).
“Tema nasional tahun ini mengajak semua pihak mempercepat upaya penanggulangan pekerja anak,” kata Shoim.
Lebih lanjut, Shoim menjelaskan bahwa pekerja anak termasuk kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus sebagaimana termuat dalam Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak. Salah satu indikator utamanya adalah hilangnya akses terhadap pendidikan.
Dampaknya pun tidak bisa dianggap remeh. Ia menceritakan pengalamannya saat mendampingi anak-anak yang bekerja dalam situasi berbahaya.
“Kami pernah mendampingi anak-anak yang bekerja di industri rumah tangga yang menggunakan bahan kimia, hingga anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan terburuk seperti eksploitasi seksual,” ujarnya.
Di beberapa kota seperti Solo, Shoim menyebut sudah ada sistem pendidikan alternatif bagi anak-anak yang harus bekerja. Namun ia menegaskan, pendidikan alternatif saja tidak cukup tanpa pendampingan dan motivasi yang kuat agar anak-anak tersebut bisa kembali ke bangku sekolah.
Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menilai praktik pekerja anak tidak hanya terjadi di sektor formal seperti industri besar dan perkebunan. Fenomena ini, kata dia, justru mengakar dalam budaya masyarakat.
“Anak-anak masih sering dilibatkan dalam pekerjaan keluarga seperti membantu di kebun atau sawah. Ini dianggap wajar karena dipandang sebagai bagian dari tradisi dan kewajaran dalam membantu orang tua,” kata Drajat.
Menurutnya, pemikiran yang menganggap anak sebagai aset keluarga merupakan akar dari bertahannya praktik ini. Ditambah lagi, konstruksi sosial di masyarakat belum sepenuhnya menempatkan anak sebagai subjek yang harus dilindungi dan diberi ruang untuk berkembang.
Drajat juga mengungkapkan bahwa masalah ini tidak terbatas pada wilayah pelosok. Di kota seperti Solo pun masih ditemui anak-anak yang terpaksa mengemis atau bekerja demi membantu ekonomi keluarga yang tertekan oleh kemiskinan.
Peran keluarga menjadi kunci utama untuk memutus mata rantai pekerja anak. Tanpa dukungan orang tua dalam mengubah pola pikir lama, intervensi dari negara maupun lembaga tidak akan berjalan optimal.
Peringatan Hari Menentang Pekerja Anak Sedunia yang jatuh setiap 12 Juni menjadi pengingat bahwa pekerja anak bukan sekadar isu sosial, melainkan bentuk nyata pelanggaran terhadap hak anak. Dan selama akar permasalahan belum disentuh, upaya penghentian hanya akan menjadi wacana. (cs)
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.