Sala, Solo atau Surakarta?

2 weeks ago 18
Balaikota Surakarta sangat terbuka untuk kegiatan, termasuk para siswa. Selama ini, sering terjadi salah kaprah penulisan antara Solo dan Surakarta | Foto: Dok. Joglosemarnews

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Tanpa disadari, kekeliruan dalam penggunaan istilah Solo dan Surakarta masih cukup sering terjadi. Banyak orang menyebut “Solo” ketika merujuk pada konteks formal, yang  seharusnya Surakarta. Begitu pula sebaliknya. Kekacauan ini mencerminkan kisah panjang perjalanan nama Kota Solo.

Pada mulanya, sebelum era Surakarta, kawasan tersebut hanyalah sebuah desa kecil bernama Sala, yang berlokasi di tepi Bengawan Solo.

Menurut Profesor Warto dari UNS dalam penelitiannya tahun 2021, nama Sala diyakini berasal dari keberadaan pohon sala di lokasi tersebut atau dari figur lokal yang berperan membuka lahan, yakni Ki Gede Sala.

Ki Gede Sala selaku kepala desa, saat itu dianggap sebagai tokoh pusat dalam struktur kosmologi Jawa yang memadu instruksi duniawi dan gaib. Seiring perjalanan waktu, nama “Sala” berubah dalam lidah masyarakat Jawa dan kolonial Belanda menjadi Solo. Istilah ini kemudian melekat kuat, menjadi identitas populer; salah satunya terbukti dalam lagu Bengawan Solo dan surat kabar Soeloeh Ra’jat Solo yang menggema pada awal abad ke-20 .

Pergeseran besar berikutnya terjadi pada tahun 1745, pasca peristiwa Geger Pecinan yang mengguncang Keraton Kartasura. Dalam penelitiannya tahun 2006, sejarawan Ricklefs menyebutkan bahwa Susuhunan Pakubuwono II memindahkan istana ke desa Sala, dan mendirikan Kesunanan baru dengan nama resmi Surakarta Hadiningrat – menandakan “kota keberanian dan kemakmuran”.

Penetapan nama tersebut  disahkan dalam kalender Jawa 12 Sura 1670 (17 Februari 1745) dan dipandang sebagai simbol kebangkitan pasca konflik di Kartasura. Nama Surakarta dipilih bukan semata nama administratif, melainkan sebagai representasi legitimasi politik dan simbol pembaruan kerajaan.

Studi arsitektur perkotaan Surakarta pada 2024  sempat menyinggung bahwa keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat telah menjadi pusat pertumbuhan budaya dan struktur kota sejak penetapan tersebut.

Sementara itu, dalam memori kolektif masyarakat, ketiga nama tersebut—Sala, Solo, dan Surakarta—memiliki fungsi dan makna yang berbeda. Nama Sala hadir sebagai akar yang organik dan natural, mencerminkan budaya pedesaan yang tumbuh dari alam dan tradisi lokal. Solo, di sisi lain, berkembang sebagai identitas populer yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi simbol ekspresi budaya masyarakat. Sedangkan Surakarta menempati posisi sebagai nama resmi kota yang diwariskan dari tradisi monarki dan dipertahankan dalam struktur administratif hingga sekarang.

Perbedaan fungsi ketiga nama itu  tetap tampak dalam kehidupan sehari-hari. Ketiganya hidup berdampingan dan saling melengkapi dalam penamaan jalan, lembaga, acara budaya, hingga dalam bahasa tutur masyarakat. Oleh sebab itu, memahami konteks dan asal-usul dari Sala, Solo, dan Surakarta bukan sekadar soal istilah semata, melainkan bagian dari upaya menghargai warisan sejarah serta dinamika identitas lokal yang terus berkembang dari masa ke masa.

Dalam kaitannya dengan fungsi formal dan kelembagaan, nama Surakarta digunakan secara konsisten dalam berbagai konteks administratif dan pemerintahan. Nama ini tercantum dalam dokumen resmi, lembaga negara, serta institusi pendidikan. Misalnya, dalam struktur pemerintahan dikenal istilah Pemerintah Kota Surakarta, dan sejumlah institusi seperti Universitas Sebelas Maret Surakarta menggunakan nama ini sebagai bagian dari identitas resminya. Penggunaan “Surakarta” menandai posisi kota ini sebagai entitas kenegaraan yang sah dan diakui secara hukum dalam sistem administrasi Republik Indonesia.

Sementara itu, di luar ranah formal nama Solo terasa lebih akrab di telinga masyarakat sebagai sebutan sehari-hari yang digunakan dalam percakapan informal, media massa, hingga promosi pariwisata. Nama ini terasa lebih ringan, singkat, mudah diucapkan dan mudah diingat, tak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh pendatang dan warga mancanegara.

Bahkan sejak masa kolonial, “Solo” sudah lebih dikenal luas dibanding nama resminya, menjadikannya bagian dari identitas budaya yang melekat kuat dalam kehidupan sosial dan seni, seperti judul lagu Bengawan Solo (bukan Bengawan Surakarta-red) dan berbagai publikasi yang menjadikan nama ini sebagai ciri khas kotaSuhamdani | berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|