Temui DPR, Sejarawan, Intelektual dan Aktivis Desak Korban Pelanggaran HAM Dilibatkan dalam Penulisan Ulang Sejarah

2 weeks ago 27
Akademisi, sejarawan, hingga aktivis menemui Komisi X DPR RI membahas penolakan penulisan "sejarah resmi" yang dikebut Kementerian Kebudayaan di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Gedung DPR RI, Jakarta, 19 Mei 2025 | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Tak cukup hanya lewat pernyataan, para sejarawan, akademisi, dan aktivis pun turun langsung mendatangi Komisi X DPR RI pada Senin, 19 Mei 2025. Mereka menyuarakan keresahan atas proyek penulisan ulang sejarah resmi Indonesia yang tengah dikebut oleh Kementerian Kebudayaan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di kompleks parlemen Senayan itu, mereka menyampaikan kekhawatiran bahwa penulisan sejarah nasional bisa menjadi proyek politis yang mengabaikan suara-suara korban dan kelompok marginal.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menekankan pentingnya partisipasi luas dalam penulisan sejarah nasional. “Penulisan sejarah itu harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan banyak kalangan, termasuk mereka yang pernah mengalami ketidakadilan di masa lalu,” ujarnya kepada Tempo di depan Ruang Rapat Komisi X DPR.

Menurut Usman, sejarah tidak boleh ditulis hanya dari sudut pandang penguasa atau narasi resmi pemerintah. Ia mengingatkan, jika sejarah tidak disusun dengan prinsip keadilan dan keberpihakan pada kebenaran, maka ia akan menjadi alat pembenaran kekuasaan semata. “Usaha menulis sejarah seharusnya menjadi bagian dari penyelesaian luka masa lalu,” tegasnya.

Proyek penulisan ulang sejarah ini sebelumnya diumumkan oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Ia menargetkan penyusunan buku sejarah Indonesia versi baru itu selesai pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan RI.

Dalam keterangannya kepada pers di kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 5 Mei 2025, Fadli mengatakan bahwa proyek ini sedang dikerjakan oleh tim sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. “Sekarang baru dalam proses. Yang menuliskan ini para sejarawan. Tahun ini, rencananya diluncurkan, saat 80 tahun Indonesia merdeka,” kata politisi Partai Gerindra itu.

Namun, proyek tersebut justru memicu respons keras dari kalangan intelektual dan pegiat sejarah. Penolakan itu kini terorganisasi dalam sebuah gerakan bernama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia. Aliansi ini diketuai oleh mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman, dengan Sulistiyowati Irianto, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sebagai wakil, dan sejarawan Ita Fatia Nadia dari Ruang Arsip dan Sejarah sebagai sekretaris.

Aliansi ini menilai penulisan sejarah tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa apalagi dalam bingkai politik peringatan kenegaraan semata. Mereka mendesak agar penyusunan sejarah dilakukan secara transparan, terbuka terhadap koreksi publik, dan berbasis pada pendekatan keadilan transisional yang memberi ruang bagi suara korban pelanggaran HAM masa lalu.

Bagi mereka, sejarah Indonesia bukan hanya rangkaian tanggal dan tokoh, tetapi juga jejak trauma, perlawanan, dan harapan yang tidak boleh dilupakan—apalagi dihapus. 

www.tempo.co

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|