
GUNUNGKIDUL, JOGLOSEMARNEWS.COM – Di tengah modernisasi yang terus melaju, masyarakat Kalurahan Dengok, Kapanewon Playen, Gunungkidul, masih setia menjaga denyut budaya leluhur. Salah satu wujudnya adalah digelarnya Tradisi Methik Pari, sebuah ritual khas petani yang digelar saban awal panen padi.
Tradisi turun-temurun ini menjadi lambang penghormatan terhadap bumi dan ungkapan syukur kepada Tuhan atas rezeki yang dilimpahkan melalui pertanian. Di tengah hamparan sawah seluas sekitar 20 hektare, para petani, tokoh masyarakat, dan pejabat berkumpul dalam satu suasana yang sarat makna dan kebersamaan.
Prosesi adat dipimpin oleh sesepuh desa dengan pembacaan doa dan penyajian sesaji. Semua itu menjadi simbol harapan: panen melimpah, ladang subur, dan hasil tani terhindar dari marabahaya.
Lurah Dengok, Suyanto, menegaskan bahwa tradisi ini bukan sekadar seremoni budaya, tapi juga menjadi energi penggerak semangat bertani. “Methik Pari adalah napas kebersamaan masyarakat. Lewat ini, kami ingin pertanian dan budaya tetap berjalan beriringan,” ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa kearifan lokal seperti ini juga sejalan dengan program ketahanan pangan nasional. Terlebih, masyarakat Dengok telah menunjukkan kemampuan mengelola lahan pertanian secara gotong royong, bahkan melibatkan generasi muda dalam sektor pertanian.
Namun demikian, pertanian di Dengok menghadapi tantangan klasik: ketersediaan air. Saat ini, hanya satu sumur bor yang aktif dan baru mampu mengairi sekitar empat hektare lahan. Kondisi ini dinilai jauh dari cukup untuk menunjang produktivitas pertanian di wilayah tersebut.
Menanggapi hal itu, Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih yang turut hadir dalam upacara tradisi tersebut, langsung menginstruksikan percepatan bantuan sumur ladang. “Air adalah kehidupan. Daerah ini subur, tapi butuh dukungan irigasi. Jangan tunda, saya minta segera direalisasikan,” tegasnya.
Bupati juga menyampaikan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga gabah. Ia menekankan bahwa pembelian hasil panen harus mengikuti harga minimal Rp6.500 per kilogram sesuai program Sergap yang melibatkan Bulog dan TNI.
“Kalau ada tengkulak membeli di bawah harga itu, laporkan. Kita harus lindungi petani,” ucapnya dengan tegas.
Lebih jauh, ia juga memberi apresiasi kepada kelompok tani muda yang telah berhasil mengelola lahan seluas 25 hektare untuk hortikultura seperti melon, cabai, dan semangka. Program petani milenial itu disebut sudah mampu menghasilkan omzet puluhan juta rupiah, yang menunjukkan potensi ekonomi lokal jika dikelola dengan baik.
Sementara itu, Panewu Playen menyatakan bahwa kegiatan Methik Pari merupakan cerminan hidupnya budaya lokal di Kalurahan Dengok. Bahkan, ia menyebut Dengok sebagai Kalurahan Titisan Budaya yang potensial menjadi role model desa berbasis budaya dan pertanian.
“Mereka tidak hanya menanam, tapi juga sudah mulai mengolah hasil panen. Talas, misalnya, dijadikan produk olahan seperti es krim. Ini langkah maju,” ujarnya.
Dengan semangat kolaborasi antara warga dan pemerintah, Kalurahan Dengok kini menapaki jalan menjadi desa tangguh. Tak hanya kuat di sektor pangan, tetapi juga lestari dalam budaya dan mandiri secara ekonomi.
Tradisi Methik Pari pun bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan jalan untuk merawat masa depan. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.