Ada yang Lebih Urgent Dibanding Transmigrasi

2 weeks ago 7

JAYAPURA-Program Transmigrasi yang digagas Presiden Prabowo melalui menterinya Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, terus mendapatkan sorotan. Kali ini Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan, Uncen Prof. Avelinus Lefaan, MS yang memberikan komentar soal program tersebut. Dia menyarankan program ini tidak tergesa-gesa dilaksanakan sehingga perlu ditelaah secara mendalam. Pasalnya kondisi di Papua saat ini sedang menghadapi berbagai permasalahan, salah satunya adalah persoalan garis batas hak ulayat atau batas wilayah adat.

Ini juga yang menjadi akar konflik agraria selama ini di Papua. Masalah batas wilayah masih menjadi debat kusir diberbagai daerah. Masing-masing pihak saling mengklaim terlebih khusus di Daerah Otonomi Baru (DOB). Batas tanah antara kabupaten kabupaten baru, maupun provinsi baru di DOB masih menjadi masalah serius untuk diperhatian oleh pemerintah pusat,  jadi bukan soal transmigrasi.

Bahkan antara suku maupun masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat sendiri juga sedang mempersoalkan batas batas tanahnya. “Inilah yang mestinya dilihat oleh pemerintah pusat terutama menteri transmigrasi bagaimana caranya agar tanah tanah di Papua dipetahkan secara baik, dengan disertai sertifikat yang jelas,” jelas Prov Aelinus, Kamis (31/10).

Ia berpendapat akan lebih baik persoalan  ulayat dan garis batas dulu yang diselesaikan ketimbang mendatangkan warga baru yang akhirnya memunculkan konflik horisontal. “Masalah ini dulu yang diselesaikan, sehingga tidak lagi ada suku uang saling bentrok karena batas tanah, tapi juga pemerintah yang tidak bisa membangun fasilitas karena tanahnya masih bermasalah,” imbuhnya.

Lebih lanjut saat ini kata profesor yang akrab disapa Prof. Ave ini, papua sudah menjadi wilayah otonomi khusus. Melalui UU Otsus mendorong  masyarakat Papua untuk hidup secara mandiri.  Sebaiknya pemerintah pusat memberikan kewenangan seluas luasnya bagi tanah di Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan secara khusus serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat Papua.

Ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan dari transmigrasi yakni memindahkan penduduk dari daerah padat penduduk ke daerah lain yang kurang berpenghuni atau mentransformasikan  penduduk dari luar ke wilayah dengan jumlah penduduknya masih cukup rentan.

“Artinya dengan UU Otsus, masyarakat Papua dituntut untuk hidup mandiri, disatu sisi Papua sudah dimekarkan menjadi 6 provinsi, secara jumlah, penduduk kita saat ini memang masih sedikit, tapi dengan pemekeran pastinya secara perlahan akan bertambah, maka dengan itu kita tidak lagi butuh transformasi masyarakat dari luar,” tuturnya.

Dengan kondisi ini, maka pemerintah pusat harus lebih jelih menyusun program, apalagi berbicara transmigrasi, sebab dengan keadaan yang ada saat ini, kehidupan masyarakat Papua terbilang jauh dari kata sejahtra. Apalagi dengan kehadiran transmigran yang tentunya akan membutuhkan banyak lahan untuk keberlangsungan hidup mereka.

“Kondisi sekarang yang jumlah penduduknya terbatas saja konflik sosial sangat tinggi apalagi kehadiran transmigran nantinya, pasti akan lebih parah,” tandasnya. Dikatakan secara sosilogi program ini harus dilihat dari pendekatan konstruksi sosial. Pola ini wajib digunakan untuk melihat realitas sosial yang dibangun melalui interaksi individu dengan masyarakat dan budaya, tapi juga tentang semua nilai ideologi, dan institusi sosial yang ada di Papua.

Realitas sosial inilah yang dapat dikembangkan pemerintah untuk mencapai konlusi atau jalan keluar yang terbaik bagi setiap program uang digagas.  “Jangan kemudian karena desakan atasan lalu bikin program yang tidak selaras dengam kebutihsn atau kondisi   kehidupan masyarakat, sehingga sekali lagi saya harapkan program ini harus dikaji secara mendalam,” pungkasnya. (rel/ade)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

JAYAPURA-Program Transmigrasi yang digagas Presiden Prabowo melalui menterinya Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman, terus mendapatkan sorotan. Kali ini Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan, Uncen Prof. Avelinus Lefaan, MS yang memberikan komentar soal program tersebut. Dia menyarankan program ini tidak tergesa-gesa dilaksanakan sehingga perlu ditelaah secara mendalam. Pasalnya kondisi di Papua saat ini sedang menghadapi berbagai permasalahan, salah satunya adalah persoalan garis batas hak ulayat atau batas wilayah adat.

Ini juga yang menjadi akar konflik agraria selama ini di Papua. Masalah batas wilayah masih menjadi debat kusir diberbagai daerah. Masing-masing pihak saling mengklaim terlebih khusus di Daerah Otonomi Baru (DOB). Batas tanah antara kabupaten kabupaten baru, maupun provinsi baru di DOB masih menjadi masalah serius untuk diperhatian oleh pemerintah pusat,  jadi bukan soal transmigrasi.

Bahkan antara suku maupun masyarakat adat sebagai pemegang hak ulayat sendiri juga sedang mempersoalkan batas batas tanahnya. “Inilah yang mestinya dilihat oleh pemerintah pusat terutama menteri transmigrasi bagaimana caranya agar tanah tanah di Papua dipetahkan secara baik, dengan disertai sertifikat yang jelas,” jelas Prov Aelinus, Kamis (31/10).

Ia berpendapat akan lebih baik persoalan  ulayat dan garis batas dulu yang diselesaikan ketimbang mendatangkan warga baru yang akhirnya memunculkan konflik horisontal. “Masalah ini dulu yang diselesaikan, sehingga tidak lagi ada suku uang saling bentrok karena batas tanah, tapi juga pemerintah yang tidak bisa membangun fasilitas karena tanahnya masih bermasalah,” imbuhnya.

Lebih lanjut saat ini kata profesor yang akrab disapa Prof. Ave ini, papua sudah menjadi wilayah otonomi khusus. Melalui UU Otsus mendorong  masyarakat Papua untuk hidup secara mandiri.  Sebaiknya pemerintah pusat memberikan kewenangan seluas luasnya bagi tanah di Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan secara khusus serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat Papua.

Ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan dari transmigrasi yakni memindahkan penduduk dari daerah padat penduduk ke daerah lain yang kurang berpenghuni atau mentransformasikan  penduduk dari luar ke wilayah dengan jumlah penduduknya masih cukup rentan.

“Artinya dengan UU Otsus, masyarakat Papua dituntut untuk hidup mandiri, disatu sisi Papua sudah dimekarkan menjadi 6 provinsi, secara jumlah, penduduk kita saat ini memang masih sedikit, tapi dengan pemekeran pastinya secara perlahan akan bertambah, maka dengan itu kita tidak lagi butuh transformasi masyarakat dari luar,” tuturnya.

Dengan kondisi ini, maka pemerintah pusat harus lebih jelih menyusun program, apalagi berbicara transmigrasi, sebab dengan keadaan yang ada saat ini, kehidupan masyarakat Papua terbilang jauh dari kata sejahtra. Apalagi dengan kehadiran transmigran yang tentunya akan membutuhkan banyak lahan untuk keberlangsungan hidup mereka.

“Kondisi sekarang yang jumlah penduduknya terbatas saja konflik sosial sangat tinggi apalagi kehadiran transmigran nantinya, pasti akan lebih parah,” tandasnya. Dikatakan secara sosilogi program ini harus dilihat dari pendekatan konstruksi sosial. Pola ini wajib digunakan untuk melihat realitas sosial yang dibangun melalui interaksi individu dengan masyarakat dan budaya, tapi juga tentang semua nilai ideologi, dan institusi sosial yang ada di Papua.

Realitas sosial inilah yang dapat dikembangkan pemerintah untuk mencapai konlusi atau jalan keluar yang terbaik bagi setiap program uang digagas.  “Jangan kemudian karena desakan atasan lalu bikin program yang tidak selaras dengam kebutihsn atau kondisi   kehidupan masyarakat, sehingga sekali lagi saya harapkan program ini harus dikaji secara mendalam,” pungkasnya. (rel/ade)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|