SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Libur akhir pekan yang beriringan dengan cuti bersama Waisak menjadi momentum tepat untuk melakukan aktivitas positif dan inspiratif. Salah satu pilihan menarik adalah kegiatan blusukan sejarah yang digagas oleh komunitas Solo Societiet, kelompok pegiat sejarah dan budaya yang berbasis di Surakarta.
Pada Senin (12/5/2025), komunitas ini menggelar acara bertajuk Heritage of Surakarta, sebuah jelajah sejarah yang menyusuri kawasan sekitar Keraton Kasunanan Surakarta. Puluhan peserta dari berbagai daerah dan lintas usia tampak antusias mengikuti kegiatan ini.
Dengan berjalan kaki, mereka menyambangi sejumlah titik historis seperti Alun-alun, meriam kuno, Bangsal Witono, Kori Brojonolo, Dalem Pugeran, kantor Pusdiktop Kodiklat TNI AD, hingga patung Paku Buwana VI. Salah satu titik yang menyita perhatian peserta adalah bekas rumah Ki Gedhe Sala III dan pohon Sala kuno yang masih tersisa di Kota Bengawan. Berdasarkan peta kuno dan sumber lokal, rumah Ki Gedhe Sala III diperkirakan berada di sekitar Sitinggil, tak jauh dari keraton. Ki Gedhe Sala sendiri dikenal sebagai tokoh pendiri cikal bakal Kota Surakarta, sebelum ibukota Mataram Islam dipindahkan dari Kartasura ke Desa Sala. Sementara Ki Gedhe Sala I dan II disebut bermukim di sekitar kawasan Sangkrah.
“Selama ini yang dikenal hanya makam Ki Gedhe Sala di timur keraton. Padahal sosok ini memiliki peran penting dalam sejarah berdirinya Kota Solo. Penting bagi masyarakat masa kini untuk mengenalnya lebih dekat,” ungkap Dani Saptoni, Ketua Solo Societiet, seperti dikutip dalam rilisnya ke Joglosemarnews.
Untuk memperkuat pemahaman, panitia juga membagikan sketsa lama Desa Sala kepada para peserta. Tepat di sebelah titik yang diyakini sebagai bekas rumah Ki Gedhe Sala III, berdiri pohon Sala tua nan rindang. Pohon ini bukan sekadar penanda alam, tapi juga menjadi simbol ingatan kolektif warga atas sejarah panjang kota ini.
Dalam Babad Sengkala, dikisahkan bahwa Pangeran Mangkubumi – yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I – sempat beristirahat di kawasan Baturana seusai menumpas pemberontakan Adipati Martapura di Sukowati.
Di tempat yang kini dikenal dengan kuliner sate kambingnya itu, sang pangeran menyaksikan warga menebang pohon Sala, yang kayunya kemudian digunakan untuk membangun rumah, membuat perahu, atau memperbaiki kapal.
Hal ini menguatkan dugaan bahwa daerah tersebut dahulu dialiri Bengawan Semanggi, yang menjadi jalur transportasi air penting menuju wilayah Jawa Timur hingga Wedi, Klaten. Agar lebih menarik, kegiatan jelajah dikemas secara kreatif.
Para peserta diajak mengunjungi museum Keraton dan belajar mengenal motif serta teknik miru jarik. Kegiatan ini pun terasa lebih istimewa karena bertepatan dengan peringatan ulang tahun Solo Societiet yang ke-7. Potong kue dan tiup lilin dilakukan secara simbolis sebagai ungkapan syukur.
“Kami ingin berbagi kebahagiaan dengan masyarakat. Tanpa mereka, kami bukanlah siapa-siapa. Semangat dan rasa haus publik akan pengetahuan sejarah dan budaya lokal menjadi alasan utama kami terus berkegiatan,” kata Heri Priyatmoko, sejarawan sekaligus penggagas Solo Societiet, sembari menyerahkan potongan kue kepada perwakilan Keraton dan peserta. Kegiatan ini mendapat sambutan hangat dari para peserta.
“Model pembelajaran seperti ini sangat menarik dan selalu ditunggu. Belajar sejarah di luar ruang kelas ternyata bisa sangat menyenangkan. Materinya juga selalu baru, bahkan bisa dibilang hidden gem yang cocok jadi bahan konten,” ujar Adia Prabowo, konten kreator yang rutin mengikuti kegiatan Solo Societiet.
Hal senada disampaikan Nurul Khawari, mantan aktivis 1998 yang kini aktif di organisasi Muhammadiyah Surakarta.
“Liburan kali ini saya ajak istri dan anak ikut. Biasanya saya sendiri. Banyak pengetahuan penting yang patut diperkenalkan pada generasi muda, termasuk sebagai inspirasi konten edukatif di media sosial,” ungkapnya.
Memasuki usia ke-7, komunitas nirlaba ini juga menaruh perhatian pada regenerasi. Mereka berharap bisa melahirkan peneliti muda sekaligus pendongeng sejarah yang tangguh dan terlatih. Dalam hal ini, Solo Societiet menjadi kawah candradimuka untuk meningkatkan kompetensi para anggotanya demi menjaga semangat pelestarian sejarah tetap hidup di tengah masyarakat. Suhamdani