JAYAPURA – Pemerintah Provinsi Papua dan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengkaji ulang rencana pemerintah menggarap program transmigrasi ke Papua. Program ini belakangan menimbulkan pro kontra ditingkat akar rumput dan sudah pasti lebih banyak yang menolak.
Alasannya juga beragam. Mulai dari persoalan lahan, interest sosial hingga pengabaian hak- hak masyarakat lokal. Kesimpulannya program ini perlu dikaji lebih matang dan dijelaskan lebih detail untung ruginya bagi masyarakat di agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, terlebih Papua masih kental dengan kearifan lokal.
“Sebelum mengambil keputusan, pemerintah pusat harus mengkajinya terlebih dahulu. Secara wilayah kita cukup luas, tetapi dengan faktor kearifan lokal apakah kita benar-benar siap dengan itu,” kata Pj Gubernur, Ramses Limbong kepada Cenderawasih Pos, Senin (28/10).
Terkait dengan program transmigrasi ke Papua, Ramses mengaku belum mendapat instruksi apapun. Sehingga itu, pihaknya belum bisa berkomentar terlalu jauh.
“Program transmigrasi sendiri sejak tahun 80-an sudah ada, tapi apakah sekarang di Papua masih diperlukan, nah untuk itu harus dikaji,” tambahnya.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Selatan melalui Kepala Bidang Transmigrasi Alhari Rimbo, ST mengungkapkan, bahwa pengembangan transmigrasi yang dimaksud untuk wilayah Papua khususnya untuk Papua Selatan bukan mendatangkan orang dari luar Papua seperti yang terjadi pada jaman Presiden Soeharto, namun transmigrasi ini adalah memberdayakan kawasan kampung-kampung lokal.
‘’Dengan adanya UU Otonomi Khusus Papua, tidak ada lagi transmigrasi dari luar masuk ke Papua. Sekarang kita fokus pada transmigrasi lokal. Memang pemahaman orang sekarang kalau transmigrasi itu orang dari luar masuk ke salah satu daerah untuk mengatasi kepadatan penduduk. Tapi, kalau sekarang ini mengembangan kawasan yang sudah ada itu, dan kita fokus pada kampung-kampung lokal di kawasan transmigrasi itu,’’ katanya.
Alhari Rimbo menjelaskan, bahwa di Kabupaten Merauke sudah ada 2 kawasan pengembangan transmigrasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Kawasan pengembangan transmigrasi pertama adalah Kawasan Pengembangan Transmigrasi Salor yang meliputi 41 kampung lokal pada Distrik Semangga, Tanah Miring, Kurik, Malind dan Jagebob. Kedua, adalah Kawasan Pengembangan Transmigrasi Muting yang meliputi Distrik Muting, Ulilin dan Elikobel di 20 kampung lokal.
JAYAPURA – Pemerintah Provinsi Papua dan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengkaji ulang rencana pemerintah menggarap program transmigrasi ke Papua. Program ini belakangan menimbulkan pro kontra ditingkat akar rumput dan sudah pasti lebih banyak yang menolak.
Alasannya juga beragam. Mulai dari persoalan lahan, interest sosial hingga pengabaian hak- hak masyarakat lokal. Kesimpulannya program ini perlu dikaji lebih matang dan dijelaskan lebih detail untung ruginya bagi masyarakat di agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari, terlebih Papua masih kental dengan kearifan lokal.
“Sebelum mengambil keputusan, pemerintah pusat harus mengkajinya terlebih dahulu. Secara wilayah kita cukup luas, tetapi dengan faktor kearifan lokal apakah kita benar-benar siap dengan itu,” kata Pj Gubernur, Ramses Limbong kepada Cenderawasih Pos, Senin (28/10).
Terkait dengan program transmigrasi ke Papua, Ramses mengaku belum mendapat instruksi apapun. Sehingga itu, pihaknya belum bisa berkomentar terlalu jauh.
“Program transmigrasi sendiri sejak tahun 80-an sudah ada, tapi apakah sekarang di Papua masih diperlukan, nah untuk itu harus dikaji,” tambahnya.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Selatan melalui Kepala Bidang Transmigrasi Alhari Rimbo, ST mengungkapkan, bahwa pengembangan transmigrasi yang dimaksud untuk wilayah Papua khususnya untuk Papua Selatan bukan mendatangkan orang dari luar Papua seperti yang terjadi pada jaman Presiden Soeharto, namun transmigrasi ini adalah memberdayakan kawasan kampung-kampung lokal.
‘’Dengan adanya UU Otonomi Khusus Papua, tidak ada lagi transmigrasi dari luar masuk ke Papua. Sekarang kita fokus pada transmigrasi lokal. Memang pemahaman orang sekarang kalau transmigrasi itu orang dari luar masuk ke salah satu daerah untuk mengatasi kepadatan penduduk. Tapi, kalau sekarang ini mengembangan kawasan yang sudah ada itu, dan kita fokus pada kampung-kampung lokal di kawasan transmigrasi itu,’’ katanya.
Alhari Rimbo menjelaskan, bahwa di Kabupaten Merauke sudah ada 2 kawasan pengembangan transmigrasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Kawasan pengembangan transmigrasi pertama adalah Kawasan Pengembangan Transmigrasi Salor yang meliputi 41 kampung lokal pada Distrik Semangga, Tanah Miring, Kurik, Malind dan Jagebob. Kedua, adalah Kawasan Pengembangan Transmigrasi Muting yang meliputi Distrik Muting, Ulilin dan Elikobel di 20 kampung lokal.