JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) bagi pengemudi ojek online (ojol) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memicu kekhawatiran akan dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memperingatkan bahwa langkah ini bisa meningkatkan jumlah pengangguran, terutama di sektor informal yang selama ini menjadi penopang ekonomi perkotaan.
Achmad menjelaskan, tanpa subsidi, biaya operasional yang harus ditanggung pengemudi ojol akan meningkat tajam. Hal ini berpotensi memaksa banyak pengemudi keluar dari pasar, karena tidak mampu bersaing dengan beban operasional yang semakin berat.
Di sisi lain, kenaikan harga layanan ojol juga dikhawatirkan akan berdampak pada sektor lain. Harga barang dan jasa yang bergantung pada jasa transportasi tersebut kemungkinan akan ikut melonjak, memperparah tekanan inflasi yang sudah dirasakan masyarakat.
“Ini dapat memicu peningkatan pengangguran di sektor informal, sekaligus mengurangi akses transportasi murah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,” ujar Achmad dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat (29/11/2024).
Kebijakan ini, menurut Achmad, berisiko besar menekan daya beli masyarakat yang sudah terhimpit oleh inflasi. Ia mengingatkan bahwa transportasi murah merupakan salah satu kebutuhan vital, terutama bagi masyarakat di perkotaan yang menggantungkan aktivitas kesehariannya pada moda transportasi seperti ojol.
Menteri Bahlil sendiri mengungkapkan bahwa pemerintah sedang merancang skema subsidi BBM yang lebih tepat sasaran. Ia menyebutkan bahwa subsidi akan digabungkan dengan bantuan langsung tunai (BLT) untuk memastikan bantuan sampai ke pihak yang benar-benar membutuhkan.
“Skemanya kemungkinan besar akan berupa campuran, antara subsidi barang dan BLT,” ujar Bahlil saat ditemui di Jakarta pada Rabu (27/11/2024).
Meski demikian, Bahlil tidak memberikan kepastian kapan kebijakan baru ini akan diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo. Ia hanya menyebut bahwa langkah awalnya adalah memastikan BLT berjalan lebih dahulu sambil merampungkan skema subsidi barang untuk kendaraan berpelat kuning, seperti angkutan umum.
“Ojek online kan dipakai untuk usaha. Masa usaha disubsidi?” tegasnya.
Pernyataan Bahlil ini juga menyoroti fakta bahwa tidak semua pengemudi ojol menggunakan kendaraan pribadi. Sebagian dari mereka menyewa kendaraan dari pengusaha yang memiliki armada sepeda motor. Dengan demikian, alokasi subsidi kepada pengemudi ojol dinilai tidak sesuai dengan prinsip subsidi yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat kurang mampu.
Dalam upaya menyalurkan subsidi BBM dan listrik lebih tepat sasaran, pemerintah mempertimbangkan tiga opsi utama. Pertama, mengalihkan seluruh subsidi BBM menjadi BLT.
Kedua, mempertahankan subsidi dalam bentuk barang untuk transportasi umum guna menekan inflasi, sambil mengalihkan sebagian besar subsidi ke BLT. Ketiga, menaikkan harga BBM subsidi. Langkah ini didasari pada temuan bahwa sekitar 20-30 persen subsidi BBM dan listrik selama ini tidak tepat sasaran, dengan potensi kebocoran hingga Rp100 triliun per tahun.
Dalam siaran persnya, Bahlil memastikan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) akan menjadi acuan utama untuk menyalurkan subsidi langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Sekarang kita sudah memiliki satu data yang dapat diandalkan,” ujar Bahlil.
Namun, bagi banyak pihak, termasuk pengemudi ojol, keputusan ini tetap menjadi pukulan berat. Dengan beban operasional yang meningkat tanpa adanya subsidi, masa depan mereka di sektor ini menjadi semakin tidak pasti. Kebijakan ini pun memunculkan perdebatan luas tentang bagaimana pemerintah seharusnya menyeimbangkan kebutuhan masyarakat kecil dengan prinsip efisiensi anggaran negara.