Tahun 80-an, Reggae Mulai Menancapkan Akarnya di Bumi Cenderawasih Bawa Pesan

16 hours ago 2

Menilik Eksistensi Musik Reggae dalam Hari Reggae Sedunia pada 1 Juli Lalu

Reggae bukan sekadar genre melainkan gaya hidup yang penuh cinta dan kedamaian. 1 Juli kemarin genre ini merayakan hari besarnya. Dan ternyata aliran musik ini juga memiliki “umat” yang tak sedikit.

Laporan : Eriyanto – Jayapura

“No Women No Cry.. Cause, ’cause, ’cause I remember when we used to sit In the government yard in Trenchtown” ini merupakan satu lirik lagu dari sang legenda rasta, Bob Marley. Siapapun yang mendengar denting lagu dari pria asal Jamaika kelahiran 6 Februari 1945 ini dipastikan akan ikut berlantun.

Itulah sebagian kecil dari macic musik reggae yang bisa menghipnotis menggemarnya. Dan pada 1 Juli 2025 menjadi hari yang wajib diperingati. Pasalnya 1 Juli merupakan peringatan reggae sedunia. Menariknya, dari musik dan lagu yang dinyanyikan, kebanyakan menempelkan pesan perdamaian, persatuan, dan kebebasan.

Di Kota Jayapura, Papua, semangat reggae juga tak padam. Ada saja “umatnya”. Malah sanking idealisnya, terkadang seorang penggemar musik tertentu bisa menjadikan musik sebagai kiblat kehidupannya. Jadi tidak hanya sebagai bentuk hiburan tetapi juga sebagai cerminan filosofi hidup yang selaras dengan nilai-nilai lokal.

Reggae, dengan ritme khas one-drop dan lirik-liriknya juga sarat makna. Telah lama menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, menyerukan keadilan sosial dan persaudaraan universal. Filosofi “Satu Hati, Satu Cinta” (One Love) yang dipopulerkan oleh Bob Marley, ikon reggae dunia, resonansi kuat dengan masyarakat Papua yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan.

Perkembangan reggae di Papua juga bukanlah fenomena baru. Sejak tahun 80-an, genre ini mulai menancapkan akarnya di bumi Cenderawasih, dibawa oleh para musisi lokal seperti Black Brothers, Black Sweet, Abresso Band dan lainnya.

Menilik Eksistensi Musik Reggae dalam Hari Reggae Sedunia pada 1 Juli Lalu

Reggae bukan sekadar genre melainkan gaya hidup yang penuh cinta dan kedamaian. 1 Juli kemarin genre ini merayakan hari besarnya. Dan ternyata aliran musik ini juga memiliki “umat” yang tak sedikit.

Laporan : Eriyanto – Jayapura

“No Women No Cry.. Cause, ’cause, ’cause I remember when we used to sit In the government yard in Trenchtown” ini merupakan satu lirik lagu dari sang legenda rasta, Bob Marley. Siapapun yang mendengar denting lagu dari pria asal Jamaika kelahiran 6 Februari 1945 ini dipastikan akan ikut berlantun.

Itulah sebagian kecil dari macic musik reggae yang bisa menghipnotis menggemarnya. Dan pada 1 Juli 2025 menjadi hari yang wajib diperingati. Pasalnya 1 Juli merupakan peringatan reggae sedunia. Menariknya, dari musik dan lagu yang dinyanyikan, kebanyakan menempelkan pesan perdamaian, persatuan, dan kebebasan.

Di Kota Jayapura, Papua, semangat reggae juga tak padam. Ada saja “umatnya”. Malah sanking idealisnya, terkadang seorang penggemar musik tertentu bisa menjadikan musik sebagai kiblat kehidupannya. Jadi tidak hanya sebagai bentuk hiburan tetapi juga sebagai cerminan filosofi hidup yang selaras dengan nilai-nilai lokal.

Reggae, dengan ritme khas one-drop dan lirik-liriknya juga sarat makna. Telah lama menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, menyerukan keadilan sosial dan persaudaraan universal. Filosofi “Satu Hati, Satu Cinta” (One Love) yang dipopulerkan oleh Bob Marley, ikon reggae dunia, resonansi kuat dengan masyarakat Papua yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kekeluargaan.

Perkembangan reggae di Papua juga bukanlah fenomena baru. Sejak tahun 80-an, genre ini mulai menancapkan akarnya di bumi Cenderawasih, dibawa oleh para musisi lokal seperti Black Brothers, Black Sweet, Abresso Band dan lainnya.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|