Harapan Penyandang Disabilitas dalam Pesta Demokrasi Pillkada di Kota Jayapura
Pilkada selalu memberikan harapan baru, terkait dengan pemimpin baru yang bisa membawa perubahan pembangunan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Harapan itu, juga yang diungkapkan dua penyandang disabilitas yang setiap hari bekerja berjualan di depan pintu masuk Saga Mal Abepura.
Laporan: Karolus Daot-Jayapura
Kamis (14/2) siang itu, dua penyandang disabilitas, tuna netra, Yotam Beay dan Stefanus Imbiri duduk santai di samping barang dagagannya. Tiap hari, keduanya diberi tempat di depan pintu masuk Saga Mal Abepura ini untuk menjual berbagai jenis barang keset/alas kaki, sapu dan barang dagangan lainnya.
Hiruk pikuk masa kampanye ini, nampaknya terlepas dari perhatiannya, karena setiap hari harus berjuang mencari nafkah dengan berjualan. Tak ada kesempatan mengikuti kampanye, apalagi melihat visi misi pasangan calon kepala daerah yang maju dalam konstestasi politik Pilkada serentak yang tinggal menghitung hari.
Meski begitu, setiap pelaksanaan pemilu, seperti pemilu presiden dan legislative beberapa waktu lalu, Yotam dan Stefanus mengaku juga mengunakan hak pilihnya. Dengan keterbatasan yang ada pada diri mereka, tentu butuh fasilitas khusus dibanding pemilih pada umumnya.
Diakui keduanya, meski hak politiknya telah diakomodir, namun proses didalamnnya masih belum maksimal. Dimana mereka masih terkendala dengan minimnya aksesibilitas dan akomodasi seperti alur pelayanan, serta penyediaan bilik suara khusus, maupun penyediaan templat braille.
Seperti pada pemilu kemarin, dia sesuai aturan mestinya mereka disediakan jalur khusus untuk masuk di dalam bidik suara, namun kenyataanya tidak demikian. Dimana dia harus dibantu keluarganya untuk masuk ke dalam bidik suara.
Mirisnya lagi, petugas justru tidak menyiapkan kertas suara khusus baginya dalam hal ini templat braile. Namun untung keluarga ikut membantu mengarahkan dia untuk mencoblos berdasarkan pilihan.
“Kalau presiden masih gampang karena hanya ada tiga calon tapi caleg ini yang susah, tapi kalau pakai braille, pasti gampang karena mudah untuk dihafal,” bebernya.
Kendala lain yang dihadapi mereka harus ikut antri dengan pemilih yang lain. Sementara satu sisi dia tidak bisa melihat apapun, sehingga terpaksa berdiri di bawah terik matahari sembari menunggu panggilan.
“Saya ikut antre berjam-jam, karena menunggu panggilan, tidak tau aturannya memang begitu atau tidak,” tuturnya.
Terlepas daripada pengalalannya itu dia berharap agar pemilukada 2024 ini, adanya perhatian khusus dari penyelenggara pemilu. Mulai dari akses, penyediaan bidik suara khusus, maupun template braille.
“Paling pentingnya itu kertas braille, sehingga pilihan kami betul-betul sesuai dengan pilihan hati,” harapnya.
Harapan Penyandang Disabilitas dalam Pesta Demokrasi Pillkada di Kota Jayapura
Pilkada selalu memberikan harapan baru, terkait dengan pemimpin baru yang bisa membawa perubahan pembangunan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Harapan itu, juga yang diungkapkan dua penyandang disabilitas yang setiap hari bekerja berjualan di depan pintu masuk Saga Mal Abepura.
Laporan: Karolus Daot-Jayapura
Kamis (14/2) siang itu, dua penyandang disabilitas, tuna netra, Yotam Beay dan Stefanus Imbiri duduk santai di samping barang dagagannya. Tiap hari, keduanya diberi tempat di depan pintu masuk Saga Mal Abepura ini untuk menjual berbagai jenis barang keset/alas kaki, sapu dan barang dagangan lainnya.
Hiruk pikuk masa kampanye ini, nampaknya terlepas dari perhatiannya, karena setiap hari harus berjuang mencari nafkah dengan berjualan. Tak ada kesempatan mengikuti kampanye, apalagi melihat visi misi pasangan calon kepala daerah yang maju dalam konstestasi politik Pilkada serentak yang tinggal menghitung hari.
Meski begitu, setiap pelaksanaan pemilu, seperti pemilu presiden dan legislative beberapa waktu lalu, Yotam dan Stefanus mengaku juga mengunakan hak pilihnya. Dengan keterbatasan yang ada pada diri mereka, tentu butuh fasilitas khusus dibanding pemilih pada umumnya.
Diakui keduanya, meski hak politiknya telah diakomodir, namun proses didalamnnya masih belum maksimal. Dimana mereka masih terkendala dengan minimnya aksesibilitas dan akomodasi seperti alur pelayanan, serta penyediaan bilik suara khusus, maupun penyediaan templat braille.
Seperti pada pemilu kemarin, dia sesuai aturan mestinya mereka disediakan jalur khusus untuk masuk di dalam bidik suara, namun kenyataanya tidak demikian. Dimana dia harus dibantu keluarganya untuk masuk ke dalam bidik suara.
Mirisnya lagi, petugas justru tidak menyiapkan kertas suara khusus baginya dalam hal ini templat braile. Namun untung keluarga ikut membantu mengarahkan dia untuk mencoblos berdasarkan pilihan.
“Kalau presiden masih gampang karena hanya ada tiga calon tapi caleg ini yang susah, tapi kalau pakai braille, pasti gampang karena mudah untuk dihafal,” bebernya.
Kendala lain yang dihadapi mereka harus ikut antri dengan pemilih yang lain. Sementara satu sisi dia tidak bisa melihat apapun, sehingga terpaksa berdiri di bawah terik matahari sembari menunggu panggilan.
“Saya ikut antre berjam-jam, karena menunggu panggilan, tidak tau aturannya memang begitu atau tidak,” tuturnya.
Terlepas daripada pengalalannya itu dia berharap agar pemilukada 2024 ini, adanya perhatian khusus dari penyelenggara pemilu. Mulai dari akses, penyediaan bidik suara khusus, maupun template braille.
“Paling pentingnya itu kertas braille, sehingga pilihan kami betul-betul sesuai dengan pilihan hati,” harapnya.