Menumpas PKI, Menyalin Metodenya

3 weeks ago 15
Monumen Pancasila Sakti | Wikipedia
Yuliantoro, Penulis lepas, Aalumnus Sosiologi UGM | Istimewa

KETIKA Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada 1966, ia menjanjikan Indonesia yang bersih dari komunisme. PKI dibasmi, jutaan orang ditangkap atau dibunuh, dan ideologi Marxis-Leninis dihapus dari ruang publik. Namun sejarah berputar dengan ironi. Rezim Orde Baru justru meniru banyak sifat yang dulu dilekatkan pada PKI — otoriter, anti-plural, dan penuh kekerasan.

PKI di bawah Muso dan D.N. Aidit dikenal sentralistik yaitu satu komando, satu ideologi, satu pemimpin. Dan ironisnya, Soeharto meniru pola itu. Ia membangun kultus pribadi sebagai “Bapak Pembangunan” dan “penyelamat bangsa dari komunisme”.
Dalam konsep personalisasi kekuasaan (Levitsky & Way, 2010), rezim seperti ini menempatkan negara dalam bayangan satu figur. Kritik menjadi dosa politik sedangkan loyalitas menjadi alat naik pangkat. Seperti PKI yang menuntut kesetiaan ideologis, Orde Baru menuntut kesetiaan kepada Pancasila versi militeristik.

Agama Politik Baru

Apabila PKI mengajarkan Marxisme-Leninisme melalui sekolah rakyat dan organisasi massa, maka Orde Baru melakukannya lewat penataran P4. Indoktrinasi ini melahirkan apa yang disebut Benedict Anderson (1980) sebagai imagined consensus — keseragaman yang dipaksakan dari atas.

Ariel Heryanto (2006) menilai, Orde Baru bahkan menjadikan anti-komunisme sebagai “agama politik baru”. Kebenaran tunggal dijaga oleh film, buku pelajaran, dan propaganda negara. Perbedaan pandangan dianggap ancaman terhadap stabilitas.

PKI dituduh kejam dalam peristiwa Madiun 1948 dan G30S 1965, namun kekejaman setelahnya justru lebih sistematis. Penelitian Robert Cribb (1990) dan Geoffrey Robinson (2018) memperkirakan ratusan ribu orang dibunuh dalam operasi “pembersihan”. Kekerasan itu dilakukan dengan restu militer, disertai dukungan politik internasional.

Hannah Arendt (1951) menyebut totalitarianisme sebagai kekuasaan yang selalu memerlukan musuh untuk bertahan. Orde Baru menemukan musuh abadi itu namanya “komunisme”.

Dengan menanamkan ketakutan pada rakyat, Soeharto menciptakan legitimasi moral atas kekuasaannya. Budaya diam menjadi norma. Rasa takut menggantikan rasionalitas.

PKI dulu membentuk “Front Nasional” di bawah kendali partai. Soeharto menirunya lewat fusi partai politik 1973, menyisakan Golkar, PPP, dan PDI — semua dikontrol negara. Harold Crouch (1978) menyebut sistem ini melahirkan “feodalisme modern”. Politik tanpa oposisi, masyarakat tanpa suara.

Atas nama “stabilitas nasional”, media dibungkam, seniman disensor, mahasiswa diculik, dan perbedaan pendapat dibungkam oleh pasal subversif. Kritik dianggap pengkhianatan, kebisuan dianggap patriotisme.

Meniru Musuh, Melahirkan Trauma

Jika komunisme dituduh ingin mengganti Pancasila dengan ideologi tunggal, maka Orde Baru justru mewujudkan ideologi tunggal versi baru — militerisme Pancasila.

Keduanya menolak dialog dan membangun ketakutan. Bedanya, PKI tumbang cepat, sedangkan Orde Baru bertahan tiga dekade. Namun keduanya meninggalkan luka yang sama – pembunuhan, penyingkiran, dan kebisuan kolektif.

Sejarawan Asvi Warman Adam (2003) menyebut masa ini sebagai sejarah yang dibekukan dimana rakyat dicegah memahami masa lalunya sendiri. Karena itu, trauma 1965 bukan hanya tentang kekerasan PKI, tapi juga kekerasan negara atas nama anti-PKI.

Orde Baru berkuasa atas nama anti-komunisme, tapi akhirnya meniru musuh yang diperanginya. Ia memonopoli kebenaran, menindas perbedaan, dan membangun negara ketakutan.

Yang dibasmi bukan hanya komunisme, melainkan juga kebebasan berpikir dan keberanian bermoral. Kekuasaan yang takut pada sejarah, kata Taufik Abdullah, adalah kekuasaan yang sedang mengulangi kesalahan sejarah.

Dan di situlah tragedi Orde Baru. Ketika ia mencoba menghapus bayangan PKI, ia justru menjadi bayangan itu sendiri. [*]

Yuliantoro

Penulis lepas, Aalumnus Sosiologi UGM

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|