JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan besar dalam dunia penegakan hukum dengan mencabut aturan yang selama ini memberi kekebalan khusus bagi jaksa. Melalui putusan terbarunya, MK menegaskan bahwa aparat penegak hukum kini dapat memanggil, menggeledah, bahkan menangkap jaksa tanpa perlu izin dari Jaksa Agung — terutama dalam kasus tertangkap tangan atau tindak pidana berat seperti korupsi dan kejahatan terhadap keamanan negara.
Putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Jakarta, Kamis (16/10/2025). Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai secara bersyarat dengan pengecualian untuk tindak pidana tertentu.
Dengan demikian, bunyi pasal yang baru mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa memang tetap memerlukan izin Jaksa Agung — kecuali dalam hal jaksa tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat yang diancam hukuman mati, kejahatan terhadap keamanan negara, maupun tindak pidana khusus seperti korupsi.
Prinsip Kesetaraan di Hadapan Hukum
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangannya menegaskan bahwa seluruh aparat penegak hukum, termasuk jaksa, harus berada dalam posisi yang setara di hadapan hukum. Ia menilai perlindungan hukum terhadap jaksa tidak boleh menjelma menjadi kekebalan yang menghambat penegakan hukum itu sendiri.
“Tidak boleh ada perbedaan perlakuan antarpenegak hukum. Prinsip persamaan di depan hukum harus dijaga agar tidak menimbulkan kesan diskriminatif,” ujar Arsul.
Namun, dua hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah, menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion). Mereka berpendapat seharusnya MK menolak permohonan tersebut karena pasal itu hanya dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan profesi, bukan imunitas absolut.
Momentum Reformasi Hukum
Putusan MK ini disambut beragam tanggapan dari publik dan kalangan hukum. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menyebut keputusan tersebut sebagai momentum penting bagi reformasi hukum, khususnya dalam upaya membersihkan institusi kejaksaan dari oknum yang menyalahgunakan wewenang.
“Selama ini ada kesan jaksa sulit disentuh hukum. Sekarang, pintu sudah terbuka lebar bagi KPK dan Polri untuk bertindak tanpa harus menunggu izin dari Jaksa Agung,” kata Ficar di Jakarta, Sabtu (18/10/2025).
Ia menilai, keputusan ini menjadi “angin segar” bagi upaya penegakan hukum yang lebih transparan. Kasus-kasus yang sempat mandek di internal kejaksaan, menurutnya, kini punya peluang untuk ditangani secara lebih terbuka oleh lembaga independen seperti KPK.
Ficar menyinggung sejumlah kasus yang mencoreng integritas korps Adhyaksa, seperti dugaan penggelapan barang bukti dalam kasus robot trading yang melibatkan mantan Kajari Jakarta Barat Hendri Antoro, hingga dugaan keterlibatan pejabat tinggi Kejaksaan dalam kasus makelar perkara di Mahkamah Agung.
“Kasus seperti penggelapan barang bukti itu ibarat pagar makan tanaman. Mereka yang seharusnya menjaga hukum, justru yang melanggarnya,” tegasnya.
Kejagung: Tak Masalah, Tapi Harus Profesional
Menanggapi putusan MK tersebut, Kejaksaan Agung menyatakan menerima dan menghormati keputusan tersebut. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa jaksa bukanlah individu yang kebal hukum.
“Kita tidak mempermasalahkan putusan MK. Jaksa tetap bisa ditangkap kalau terbukti melakukan tindak pidana. Justru ini jadi pengingat agar semua bekerja profesional dan berintegritas,” ujarnya di kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2025).
Anang juga menegaskan, ketentuan pengecualian izin hanya berlaku untuk tindak pidana berat seperti korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan yang diancam pidana mati.
“Selama bekerja sesuai tugas dan aturan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” tambahnya.
Akhir dari Kekebalan, Awal dari Era Baru
Putusan MK dengan nomor perkara 15/PUU-XXIII/2025 ini dianggap sebagai tonggak penting dalam memastikan prinsip equality before the law benar-benar berlaku bagi seluruh penegak hukum, tanpa kecuali.
Dengan dihapusnya “tameng izin Jaksa Agung” dalam kasus tertentu, lembaga seperti KPK dan Polri kini memiliki ruang hukum yang lebih kuat untuk menindak oknum jaksa tanpa intervensi struktural.
Putusan tersebut sekaligus menegaskan bahwa era kekebalan hukum bagi penegak hukum telah berakhir. Di tengah sorotan publik terhadap berbagai kasus korupsi dan pelanggaran etik, langkah MK ini menjadi sinyal kuat bahwa hukum kini harus tajam ke segala arah — bukan hanya ke bawah. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.