
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kritik terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Badan Gizi Nasional (BGN) semakin menguat. Setelah mencuatnya kasus lebih dari 5.000 siswa keracunan, sejumlah kalangan menilai tata kelola program tersebut bermasalah karena terlalu didominasi oleh unsur militer.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menegaskan bahwa tata kelola MBG saat ini tidak berpijak pada prinsip hak atas pangan. Ia menyerukan agar BGN dan seluruh struktur program MBG dirombak total agar kembali pada mandat sipil dan berbasis hak warga negara.
“Program Makan Bergizi Gratis tidak dibangun dalam konteks hak atas pangan. Karena itu, seluruh tata kelolanya perlu direformasi dan dikembalikan pada prinsip pemenuhan hak warga, bukan proyek politik,” ujarnya dalam forum diskusi bertajuk Refleksi 1 Tahun Prabowo-Gibran: Bangkitnya Hantu Orde Baru, Bagaimana Masa Depan HAM, di Jakarta Selatan, Minggu (19/10/2025).
Menurut Gina, hasil pemantauan PBHI sejak Januari hingga Juni 2025 menunjukkan bahwa unsur militer terlibat dalam hampir seluruh rantai pelaksanaan program MBG — mulai dari pelatihan, distribusi, hingga evaluasi.
“Keterlibatan militer dari hulu ke hilir justru berpotensi mengancam rasa aman masyarakat, terutama para siswa sebagai penerima manfaat. Siapa yang berani mengkritik ketika makanan yang dibagikan ternyata basi atau tidak layak konsumsi, jika yang datang berseragam?” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan Edi Subkhan, akademisi dari Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ia menilai, pelibatan militer secara berlebihan dalam program MBG telah membuat pengelolaannya tidak sehat dan bahkan menjadi salah satu penyebab munculnya ribuan kasus keracunan.
“Program MBG ini bukan hanya bermasalah karena 5.000 lebih anak keracunan, tetapi karena tata kelolanya juga tidak sehat. Militer terlalu jauh masuk ke urusan sipil, padahal ini program pendidikan dan gizi anak-anak, bukan operasi militer,” kata Edi, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya, keterlibatan militer dalam konteks normal, bukan di wilayah konflik, tidak hanya menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga menciptakan ketakutan di sekolah.
“Guru dan kepala sekolah jadi segan bersuara karena semua di bawah bayang-bayang militer. Bahkan ritme belajar berubah karena harus menyesuaikan aktivitas program MBG,” tuturnya.
Edi juga menyoroti dampak ekonomi dari program tersebut. Ia menilai bahwa dominasi militer di bidang distribusi dan pelatihan MBG telah menutup peluang kerja bagi masyarakat sipil, terutama generasi muda.
Pemerintah Akui Ribuan Kasus Keracunan
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari mengakui bahwa sepanjang 2025, program MBG mencatat lebih dari 5.000 kasus keracunan di berbagai daerah. Data tersebut dihimpun dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan BPOM, dengan total korban mencapai lebih dari 5.300 siswa hingga pertengahan September 2025.
Selain itu, sejumlah pelatihan Sarjana Penggerak Pembangunan Gizi (SPPG) dan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dilaporkan menggunakan pola latihan ala militer, bahkan dilaksanakan di area militer seperti Lapangan Brigif 1 Marinir pada April 2025.
Baik PBHI maupun para akademisi menilai, praktik seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi dan prinsip tata kelola sipil dalam pemerintahan demokratis.
“Pendidikan dan pangan adalah hak warga, bukan medan operasi. Kalau semua urusan diserahkan ke militer, maka sipil kehilangan ruang,” pungkas Gina Sabrina. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.