JAYAPURA – Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini pda 21 April dengan versinya masing-masing dan penuh dengan rasa hormat. Namun, di balik upaya emansipasi dan memperjuangkan hak-hak perempuan itu, Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila menyebut masih ada budaya patriarki yang selalu merendahkan perempuan.
“Di budaya-budaya tertentu, masih ada anggapan bahwa perempuan merupakan warga negara nomor dua. Padahal, perempuan dalam agama kedudukannya paling mulia,” kata Nona kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/4).
Nona pun menegaskan bahwa perempuan hebat itu bukan mereka yang tunduk pada suami, melainkan perempuan yang hak-haknya dihargai oleh laki laki dan yang setara dengan laki laki.
“Perempuan itu harus dihormati, dihargai dan dimuliakan. Sebab, mereka melahirkan generasi emas,” ujarnya.
Disinggung adanya perbedaan era dulu dan sekarang. Misalkan, dulunya hafal nama menteri namun sekarang tidak hafal. Menurut Nona, era digital turut mempengaruhi sebagian orang-orang. Sebagian orang lebih banyak menggunakan digital untuk main game, bukan membicarakan sejarah. Selain itu, pergantian kurikulum juga turut mempengaruhi.
“Era digital semakin canggih namun adabnya berkurang,” imbuhnya.

Sementara itu, Tokoh Perempuan, Usilina Epa mengatakan, yang harus diambil dari sosok Kartini adalah pola pikirnya, sikap, kecerdasannya dan kepercayaan diri. “Dari sosok Kartini, perempuan-perempuan muda bisa menjalankan perannya di masyarakat melalui pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah,” ungkapnya.
Menyikapi aspek era dulu dan sekarang, Usilina menilai kualitas pendidikan turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan kepercayaan diri anak-anak agar bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Menurutnya, salah satu faktor kenapa anak-anak sekarang tidak mudah menghafal nama-nama menteri dibanding dulu. Ini juga disebabkan perubahan sistem pendidikan, sejak 20 tahun terakhir kurikulum di Indonesia kerap berubah.
“Kurikulum yang kerap berubah-ubah ini membingungkan adik-adik kita, misalkan kurikulum SD, SMP dan SMA yang tak pernah sama,” ungkapnya.
JAYAPURA – Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini pda 21 April dengan versinya masing-masing dan penuh dengan rasa hormat. Namun, di balik upaya emansipasi dan memperjuangkan hak-hak perempuan itu, Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila menyebut masih ada budaya patriarki yang selalu merendahkan perempuan.
“Di budaya-budaya tertentu, masih ada anggapan bahwa perempuan merupakan warga negara nomor dua. Padahal, perempuan dalam agama kedudukannya paling mulia,” kata Nona kepada Cenderawasih Pos, Senin (21/4).
Nona pun menegaskan bahwa perempuan hebat itu bukan mereka yang tunduk pada suami, melainkan perempuan yang hak-haknya dihargai oleh laki laki dan yang setara dengan laki laki.
“Perempuan itu harus dihormati, dihargai dan dimuliakan. Sebab, mereka melahirkan generasi emas,” ujarnya.
Disinggung adanya perbedaan era dulu dan sekarang. Misalkan, dulunya hafal nama menteri namun sekarang tidak hafal. Menurut Nona, era digital turut mempengaruhi sebagian orang-orang. Sebagian orang lebih banyak menggunakan digital untuk main game, bukan membicarakan sejarah. Selain itu, pergantian kurikulum juga turut mempengaruhi.
“Era digital semakin canggih namun adabnya berkurang,” imbuhnya.

Sementara itu, Tokoh Perempuan, Usilina Epa mengatakan, yang harus diambil dari sosok Kartini adalah pola pikirnya, sikap, kecerdasannya dan kepercayaan diri. “Dari sosok Kartini, perempuan-perempuan muda bisa menjalankan perannya di masyarakat melalui pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah,” ungkapnya.
Menyikapi aspek era dulu dan sekarang, Usilina menilai kualitas pendidikan turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan kepercayaan diri anak-anak agar bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Menurutnya, salah satu faktor kenapa anak-anak sekarang tidak mudah menghafal nama-nama menteri dibanding dulu. Ini juga disebabkan perubahan sistem pendidikan, sejak 20 tahun terakhir kurikulum di Indonesia kerap berubah.
“Kurikulum yang kerap berubah-ubah ini membingungkan adik-adik kita, misalkan kurikulum SD, SMP dan SMA yang tak pernah sama,” ungkapnya.