Desak Polemik Ijazah Gibran Segera Dituntaskan, Hendri Satrio: Dibiarkan Menggantung Bisa Bahayakan Negeri

13 hours ago 6
Hendri Satrio | Wikipedia

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Polemik mengenai keabsahan ijazah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, kembali menjadi sorotan. Analis komunikasi politik Hendri Satrio mendesak agar persoalan tersebut segera dituntaskan secara hukum dan terbuka, mengingat Gibran saat ini masih aktif menjabat sebagai orang nomor dua di Indonesia.

Menurut pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI yang akrab disapa Hensat itu, persoalan ijazah Gibran tidak bisa dibiarkan berlarut-larut seperti kasus serupa yang menimpa ayahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Polemik ijazah Jokowi dan Gibran ini sangat berbeda konteks. Kalau Jokowi, dia sudah tidak menjabat, jadi bisa menunggu proses hukum berjalan. Tapi kalau Gibran masih menjabat, harus segera dijelaskan agar tidak menimbulkan kegaduhan,” ujar Hensat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menilai, membiarkan isu ini berlarut tanpa klarifikasi justru berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. “Kalau seorang pejabat setinggi Wapres dirundung isu seperti ini tanpa penyelesaian yang jelas, itu bisa berbahaya bagi stabilitas kepercayaan publik. Jangan sampai muncul anggapan bahwa negeri ini menoleransi ketidakjelasan data pejabat,” tegasnya.

Kasus ini bermula dari gugatan Subhan Palal, seorang advokat yang menyoal keabsahan data pendidikan Gibran. Dalam berkas Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Gibran tercatat menempuh pendidikan di Orchid Park Secondary School, Singapura (2002–2004) dan UTS Insearch Sydney, Australia (2004–2007) — keduanya setara jenjang SMA.

Namun, Subhan mempermasalahkan lokasi dan keabsahan sekolah tersebut, bukan soal kelulusan. Ia menilai, ada syarat administratif pendaftaran calon wakil presiden yang tidak terpenuhi, sehingga menggugat Gibran dan KPU RI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas dugaan perbuatan melawan hukum.

Dalam gugatannya, Subhan meminta majelis hakim menyatakan status Gibran sebagai Wakil Presiden tidak sah, sekaligus menuntut ganti rugi Rp125 triliun kepada negara.

Setelah tiga kali mediasi tanpa hasil, perkara kini berlanjut ke sidang pokok perkara. Subhan mengungkapkan, dalam proses mediasi tersebut pihak Gibran—melalui kuasa hukumnya—menolak dua syarat utama, yakni permintaan maaf secara terbuka dan pengunduran diri dari jabatan Wapres.

Menanggapi hal itu, Hensat menilai langkah hukum ini seharusnya direspons serius oleh tim Gibran agar tidak menjadi bola liar di ruang publik. “Kalau diam saja, publik bisa menafsirkan macam-macam. Justru dengan menjelaskan secara terbuka, Gibran bisa menunjukkan integritasnya sebagai pejabat muda yang bertanggung jawab,” ujarnya.

Ia juga menyinggung bahwa selama setahun mendampingi Presiden Prabowo Subianto, kontribusi Gibran sering kali dinilai publik tidak menonjol. “Harus dihindari persepsi bahwa peran Wapres hanya sekadar ‘tidak mengganggu Presiden’. Justru Gibran perlu menunjukkan kiprah dan ketegasan, salah satunya dengan menuntaskan isu sensitif seperti ini,” imbuhnya.

Hensat pun menutup dengan peringatan, bahwa kasus ini bukan semata soal dokumen pendidikan, melainkan menyangkut transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. “Kalau tidak segera diselesaikan, bukan hanya Gibran yang kena imbas, tapi juga kredibilitas pemerintah di mata rakyat,” pungkasnya. [*]  Disarikan dari sumber berita media daring

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|