SUMUTPOS.CO – Kecaman internasional atas operasi militer di Gaza dan kekerasan pemukim di Tepi Barat ditambah ketegangan regional dengan Iran, bakal mempersulit Israel di jalur ekonomi dan diplomatik. Itu seiring Uni Eropa yang mulai mempertimbangkan langkah-langkah nyata untuk meninjau ulang hubungan strategisnya dengan Israel.
SELAMA ini, dukungan militer dan politik dari Amerika Serikat (AS) menjadi pilar utama posisi Israel di arena internasional. Namun secara ekonomi, Eropa justru merupakan mitra yang lebih dekat dan signifikan. Sekitar sepertiga perdagangan Israel terjadi dengan Uni Eropa sebagai sumber utama pendanaan riset ilmiah lewat program Horizon serta destinasi utama wisata dan kerja sama akademik warga Israel.
Dilansir dari The Guardian kemarin (26/5), seiring meningkatnya tekanan dari dalam negeri, konsensus politik di Uni Eropa yang selama ini relatif lunak terhadap Israel mulai goyah. Josep Borrell, mantan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, secara terbuka mengkritik ketidaktegasan kebijakan blok tersebut.
“Jika Anda bisa tinggal di permukiman ilegal dan tetap bepergian bebas ke Eropa serta mengekspor produk, bagaimana kita berharap mereka menganggap serius kecaman kita?” kata Borrell merujuk pada minimnya tindakan nyata yang menyertai kecaman diplomatik selama ini.
Pergeseran Negara yang Dulu Mendukung.
Pergeseran politik ini juga terlihat dari langkah negara-negara Eropa yang dulunya sangat mendukung Israel. Prancis mulai mempertimbangkan pengakuan sepihak atas negara Palestina. Inggris telah menjatuhkan sanksi terhadap dua menteri Israel.
Bahkan, Belanda yang selama ini menjadi salah satu sekutu paling setia Israel secara resmi meminta peninjauan ulang atas potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa dan Israel. Pasal 2 Perjanjian Asosiasi Uni Eropa-Israel menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip demokrasi adalah elemen esensial kerja sama kedua pihak.
Dukungan atas evaluasi ini datang dari 17 negara anggota Uni Eropa. Jumlah yang mengejutkan dan mengindikasikan kekhawatiran yang meluas. “Ada perasaan yang tumbuh bahwa kecuali Eropa menetapkan harga atas pengabaian Israel terhadap kekhawatiran kita, mereka akan terus menganggap kita remeh,” kata seorang diplomat Eropa.
Butuh Suara Bulat untuk Hentikan Perjanjian
Namun, untuk menghentikan seluruh perjanjian asosiasi diperlukan suara bulat seluruh negara anggota. Sesuatu yang tidak mungkin dalam waktu dekat. Meski begitu, beberapa komponen seperti akses bebas bea dan dana riset dapat ditangguhkan dengan dukungan mayoritas kualifikasi. Di sisi lain, langkah apa pun tetap membutuhkan persetujuan Presiden Uni Eropa Ursula von der Leyen yang belum secara terbuka mendukung sanksi.
Pakar Ingatkan Bahaya Jangka Panjang
Sementara, ketidakpastian terus membayangi hasil akhir dari konflik antara Israel dan Iran, meskipun Amerika Serikat (AS) diperkirakan dapat ikut terlibat. Para analis militer dan diplomat memperingatkan bahwa bahkan jika pemerintahan Donald Trump menyetujui dukungan militer terbuka, tujuan strategis jangka panjang Israel tetap sulit tercapai, khususnya terkait penghancuran program nuklir dan perubahan rezim di Teheran.
Dilansir dari The Guardian, Rabu (25/6), para pengamat menggarisbawahi bahwa keterlibatan militer AS tidak menjamin keberhasilan Israel. Serangan terhadap fasilitas nuklir Fordow, misalnya, dinilai tidak akan efektif meski menggunakan bom penghancur bunker dengan daya ledak tinggi. Fasilitas itu terletak di bawah gunung dengan lapisan batuan setebal 90 meter, menjadikannya target yang nyaris mustahil ditembus tanpa risiko besar.
“Menyerahkan tugas menghancurkan Fordow kepada Amerika Serikat berarti menempatkan AS dalam bidikan Iran,” tulis Daniel C. Kurtzer, mantan Duta Besar AS untuk Israel, dan Steven N. Simon, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional, dalam Foreign Affairs. Mereka memperingatkan bahwa tindakan itu hampir pasti akan dibalas dengan serangan terhadap warga sipil Amerika, yang akan memicu eskalasi lebih jauh.
Lebih jauh, strategi Israel yang tampaknya bertaruh pada agresi demi memancing respons militer AS dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah berisiko tinggi. “Apa yang kita lihat bukan pendekatan strategis, melainkan operasi udara yang kemudian menelan tujuan strategis yang lebih luas, yaitu penyelesaian politik,” ujar Andreas Krieg, profesor pertahanan dari King’s College London.
Konflik ini juga mengangkat kembali gagasan kontroversial mengenai perubahan rezim Iran. Isu ini memicu kekhawatiran luas di kawasan, terlebih setelah muncul laporan bahwa Israel sempat mempertimbangkan serangan langsung terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei—yang kabarnya telah diveto oleh Trump. Dalam konteks ini, ulama senior Irak, Grand Ayatollah Ali al-Sistani, menyampaikan peringatan publik yang jarang terjadi, mengenai dampak destabilisasinya bagi Timur Tengah.
Toby Dodge, profesor hubungan internasional di London School of Economics, turut menyoroti permasalahan mendasar dari pendekatan Israel. “Sejak berdirinya negara ini, ada anggapan dominan di Israel bahwa kekerasan bisa menyelesaikan masalah politik. Namun, Iran memiliki sejarah panjang dalam modernisasi teknologi dan proliferasi. Itu bukan sesuatu yang bisa dihapus hanya dengan bom,” tegasnya.
Ketidaksiapan logistik juga menjadi faktor penentu. Stok peluru kendali pencegat Israel dikabarkan mulai menipis, sementara operasi udara jarak jauh melelahkan awak pesawat dan menguras kesiapan teknis. Jika intensitas konflik menurun, hal ini akan dimanfaatkan oleh Iran untuk memperkuat narasi bahwa mereka berhasil bertahan dari serangan terburuk.
Dari sisi politik AS, dukungan publik terhadap intervensi militer di Timur Tengah terus menurun. Isu ini bahkan berpotensi memecah belah basis pendukung utama Donald Trump di kalangan gerakan MAGA (Make America Great Again).
“Dengan rendahnya dukungan publik Amerika terhadap intervensi militer, dan isu ini berpotensi memecah belah basis pendukung Trump, Israel justru berisiko terseret ke dalam polemik politik dalam negeri AS—yang bagi Trump, jauh lebih penting dibanding sekadar mendukung Netanyahu,” seperti dikutip dari The Guardian.
Menanggapi situasi ini, Toby Dodge menilai Israel justru bisa menghadapi konsekuensi besar jika perhitungan strategisnya meleset. “Jika Khamenei cukup bijak untuk mundur, dan jika Amerika memilih untuk tidak ikut campur, maka Israel seolah telah menusukkan jarinya ke dalam sarang lebah,” ujar Dodge.
Meskipun peluang perundingan masih terbuka—termasuk melalui kontak diplomatik dengan negara-negara Eropa di Jenewa pada Jumat lalu—keberhasilan kesepakatan nuklir pun tidak otomatis menjamin keuntungan jangka panjang bagi Israel. Rezim ulama Iran mungkin tetap bertahan, namun dengan sikap yang semakin keras terhadap Israel dan pemahaman yang lebih tajam mengenai keterbatasan kekuatan militer Israel.
Akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Jenderal Wesley Clark dalam bukunya Waging Modern War, bahkan kampanye udara paling sukses pun hanya efektif jika mampu memaksa pihak lawan ke meja perundingan. Jika itu yang dicapai, Israel tetap harus menghadapi pertanyaan mendasar: apakah serangan ini benar-benar membawa keamanan, atau justru membuka pintu menuju ketidakstabilan baru yang lebih luas dan lebih dalam.
700 Tentara Bayaran Israel Ditangkap, 3 Telah Dieksekusi
Sementara, Iran mengumumkan telah menangkap sedikitnya 700 orang yang dianggap sebagai tentara bayaran Israel selama konflik selama 12 hari dengan negara Yahudi tersebut. Menurut laporan Fars News Agency kemarin (25/6), ratusan orang tersebut diduga kuat terlibat dalam jaringan spionase dan sabotase yang diklaim beroperasi atas nama Israel, terutama badan intelijen Mossad.
“Pada awal serangan Israel terhadap Iran, jaringan mata-mata rezim Zionis sangat aktif di negara itu,” tulis Fars News Agency. Penangkapan besar-besaran berlangsung dalam situasi tegang pascaserangan udara besar-besaran Israel ke wilayah Iran (13/6) yang disebut sebagai Operation Rising Lion.
Fars News Agency juga melaporkan bahwa penangkapan para agen Israel dilakukan di berbagai provinsi. Antara lain Kermanshah, Isfahan, Khuzestan, Fars, dan Lorestan. Namun, belum ada rincian yang dirilis terkait jumlah tersangka yang diamankan di ibu kota Teheran.
Kemarin pagi waktu setempat, Iran juga mengeksekusi tiga orang yang dituduh bekerja sama dengan Israel. Menurut kantor berita Mizan mereka yang dieksekusi bernama Idris Ali, Azad Shojai, dan Rasoul Ahmad Rasoul. Ketiganya menyelundupkan peralatan yang digunakan dalam pembunuhan satu orang yang tidak disebutkan namanya.
Sementara itu, Mossad secara terbuka mengakui keterlibatan personel rahasianya dalam menjalankan operasi di dalam wilayah Iran menjelang dimulainya serangan. Dalam pernyataan ke publik, Mossad menyertakan rekaman video para agennya yang menjalankan misi diam-diam di balik garis pertahanan Iran. Salah satu misi utama adalah mendirikan pangkalan rahasia di dalam Iran untuk meluncurkan drone ke berbagai target militer strategis. (din/lyn/dns/jpg)