Cyber Notary dan PPAT Elektronik sebagai Konsekuensi Globalisasi Hukum Transaksi Pertanahan

3 hours ago 2

Oleh: Zulfikar S.H. M.Kn

Dalam dua dekade terakhir, dunia hukum tidak lagi bisa menutup mata terhadap arus globalisasi digital.

Transformasi teknologi informasi telah merambah seluruh sendi kehidupan, termasuk ranah kenotariatan dan pertanahan. Di Indonesia, dua profesi hukum yang berperan penting dalam menjamin kepastian hukum atas perbuatan hukum perdata notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kini dihadapkan pada keharusan untuk beradaptasi dengan era digital melalui konsep Cyber Notary dan PPAT elektronik.

Globalisasi Hukum dan Desakan Digitalisasi
Globalisasi hukum tidak hanya berarti harmonisasi sistem hukum antarnegara, tetapi juga penyesuaian terhadap standar dan praktik internasional yang semakin berbasis teknologi. Di banyak negara maju, transaksi hukum sudah dilakukan secara elektronik, mulai dari penandatanganan dokumen digital hingga penyimpanan arsip berbasis blockchain.

Indonesia, dengan sistem hukum yang mengedepankan asas kepastian dan formalisme akta otentik, mau tidak mau harus merespons fenomena ini.

Kementerian ATR/BPN bersama Kementerian Hukum sudah mulai menapaki jalan itu. Layanan PPAT elektronik dan konsep Cyber Notary menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam mendigitalisasi layanan publik hukum. Tujuannya jelas: mempercepat pelayanan, meningkatkan transparansi dan keamanan, dan menyesuaikan sistem hukum Indonesia dengan standar global digital governance.

Cyber Notary: Tantangan dan Peluang

Gagasan Cyber Notary pertama kali mengemuka seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengakui keabsahan dokumen elektronik. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik kini berpotensi memanfaatkan tanda tangan digital tersertifikasi dan sistem daring untuk pembuatan akta.

Namun, transformasi ini tidak sederhana. Keotentikan akta notaris sangat bergantung pada kehadiran para pihak dan pembacaan akta di hadapan notaris. Dalam format digital, aspek “kehadiran” menjadi problematis apakah kehadiran virtual melalui video conference dapat dianggap sah secara hukum? Inilah titik krusial yang membutuhkan penyesuaian norma, baik dalam UU Jabatan Notaris maupun peraturan pelaksanaannya.

PPAT Elektronik dan Reformasi Pertanahan
Sementara itu, Direktorat Jenderal Tata Ruang dan Kementerian ATR/BPN mulai mengimplementasikan sistem PPAT elektronik. Langkah ini merupakan bagian dari digitalisasi layanan pertanahan nasional, mulai dari peralihan hak, hingga pembebanan hak atas tanah. Melalui sistem ini, akta PPAT tidak lagi berbasis kertas (paper-based), melainkan dokumen digital yang terintegrasi dengan basis data BPN.

Keunggulan PPAT elektronik tidak hanya pada efisiensi, tetapi juga transparansi. Proses verifikasi data subjek dan objek tanah menjadi lebih cepat, dan jejak transaksi tercatat secara digital. Ini sejalan dengan prinsip good governance dan upaya pencegahan praktik mafia tanah yang sering memanfaatkan celah administratif.

Salah satu kendala nyata dalam penerapan PPAT Elektronik adalah belum jelasnya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur batasan waktu maksimal pemeriksaan berkas oleh petugas kantor pertanahan. Akibatnya, meskipun proses pengunggahan akta dan dokumen dilakukan secara cepat oleh PPAT melalui sistem elektronik, proses verifikasi di tingkat BPN seringkali tertunda tanpa kejelasan waktu penyelesaian. Kondisi ini menimbulkan beberapa dampak negatif, menurunkan efektivitas digitalisasi, karena kecepatan sistem tidak diimbangi dengan kecepatan pelayanan manusia, menimbulkan ketidakpastian hukum dan administratif bagi para pihak yang menunggu hasil pendaftaran, dan malah justru membuka celah birokrasi lama, di mana lamanya proses sering kali bergantung pada kebijakan internal atau subjektivitas petugas.

Dalam semangat reformasi birokrasi dan digitalisasi hukum, SOP berbasis waktu (service level agreement) seharusnya menjadi bagian integral dari sistem PPAT Elektronik. Dengan adanya batas waktu pemeriksaan misalnya, maksimal 1 (satu) atau 2 (dua) hari kerja setelah berkas diunggah maka kepastian hukum dan pelayanan publik yang efisien dapat benar-benar terwujud.

Konsekuensi Globalisasi dan Tanggung Jawab Profesi
Kita tidak bisa menunda perubahan ini. Dunia hukum global sudah bergerak menuju digitalisasi penuh. Jika Indonesia termasuk Sumatera Utara ingin tetap kompetitif dan adaptif terhadap investasi internasional, maka sistem hukum yang mengatur transaksi pertanahan harus modern, efisien, dan terpercaya. Cyber Notary dan PPAT elektronik adalah konsekuensi logis dari globalisasi hukum.

Namun, di balik modernisasi itu, tanggung jawab etik dan moral para pejabat hukum harus tetap dijaga. Digitalisasi bukan berarti menghapus nilai-nilai integritas, kehati-hatian, dan kepastian hukum yang menjadi jiwa profesi notaris dan PPAT.

Kita berada di persimpangan sejarah antara tradisi hukum yang mapan dan revolusi digital yang tak terelakkan. Globalisasi menuntut kita menyesuaikan sistem hukum nasional agar selaras dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat modern. Cyber Notary dan PPAT elektronik bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat sistem hukum Indonesia agar lebih efisien, transparan, dan berdaya saing global.

Sudah saatnya dunia hukum di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, menyambut perubahan ini bukan dengan keraguan, tetapi dengan kesiapan dan komitmen untuk menjadi bagian dari era baru kenotariatan digital.

*) Penulis adalah Notaris/PPAT, Mahasiswa Prodi S3 Ilmu Hukum USU, 2025

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|