Dipicu Sengketa Lahan, Hamadi Sempat Tegang
JAYAPURA-Suasana tegang meliputi warga saat insiden aksi saling lempar batu terjadi di kawasan Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, pada Senin (3/2). Kejadian ini diduga dipicu oleh sengketa lahan antara warga setempat dan warga asal Pegunungan. Meskipun tidak ada korban jiwa, beberapa orang mengalami luka ringan akibat insiden tersebut.
Kanit Babinkamtibmas Polresta Jayapura Kota, Ipda Jubilan Gobay, mengungkapkan bahwa peristiwa ini berawal pada 27 Desember 2024. Saat itu, dua warga asal Wamena mendatangi seorang warga di Hamadi Rawa II yang tengah membangun rumah.
Mereka mempertanyakan keabsahan kepemilikan lahan yang digunakan untuk membangun rumah tersebut. Pemilik rumah mengklaim bahwa lahan tersebut sah miliknya dan didukung dengan surat pelepasan dari pemilik tanah sebelumnya. Namun, warga Wamena mengaku bahwa tanah itu dahulu ditimbun oleh orang tua mereka dan seharusnya menjadi milik mereka.
Pada 7 Januari 2025, sekitar pukul 21.00 WIT, kedua warga Wamena kembali mendatangi lokasi tersebut untuk meminta kejelasan. Ketika pemilik lahan, yang diketahui adalah seorang pendeta, tidak menunjukkan bukti kepemilikan berupa surat pelepasan dan sertifikat, warga Wamena merasa geram dan menamparnya.
Teriakan sang pendeta menarik perhatian warga sekitar, yang kemudian mengeroyok kedua warga Wamena tersebut hingga salah satu mengalami luka berat. Keesokan harinya, pendeta tersebut melaporkan insiden tersebut ke pihak kepolisian.
Pada 9 Januari 2025, pihak kepolisian mengadakan mediasi antara kedua belah pihak. Dalam mediasi tersebut, pendeta akhirnya menunjukkan bukti surat pelepasan lahan yang ia miliki.
Ternyata, dokumen tersebut memiliki tanggal penerbitan yang lebih dulu dibandingkan klaim warga Wamena.
Meskipun demikian, pihak warga Wamena tetap meminta biaya pengobatan sebesar Rp 200 juta atas penganiayaan yang mereka alami, namun pendeta tidak sanggup memenuhinya.
Pihak kepolisian menyarankan agar warga Wamena melaporkan pengeroyokan yang mereka alami secara hukum, tetapi mereka menolak dan hanya menginginkan ganti rugi biaya pengobatan.
Beberapa hari setelah kejadian, salah satu korban pengeroyokan dari warga Wamena dilaporkan meninggal dunia. Keluarga korban pun melaporkan kejadian ini ke polisi. Namun, jenazah tidak sempat diotopsi karena pihak keluarga menolak prosedur tersebut dan langsung membawa jenazah untuk dimakamkan.
Setelah kematian korban, pihak Babinkamtibmas kembali mengundang kedua belah pihak untuk melakukan mediasi terkait kejadian tersebut. Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga korban meminta ganti rugi berupa uang “Bayar kepala” sebesar Rp 1,5 miliar. Namun, permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak pendeta, sehingga kepolisian menyarankan warga Wamena membawa kasus ini ke jalur hukum.
Dipicu Sengketa Lahan, Hamadi Sempat Tegang
JAYAPURA-Suasana tegang meliputi warga saat insiden aksi saling lempar batu terjadi di kawasan Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, pada Senin (3/2). Kejadian ini diduga dipicu oleh sengketa lahan antara warga setempat dan warga asal Pegunungan. Meskipun tidak ada korban jiwa, beberapa orang mengalami luka ringan akibat insiden tersebut.
Kanit Babinkamtibmas Polresta Jayapura Kota, Ipda Jubilan Gobay, mengungkapkan bahwa peristiwa ini berawal pada 27 Desember 2024. Saat itu, dua warga asal Wamena mendatangi seorang warga di Hamadi Rawa II yang tengah membangun rumah.
Mereka mempertanyakan keabsahan kepemilikan lahan yang digunakan untuk membangun rumah tersebut. Pemilik rumah mengklaim bahwa lahan tersebut sah miliknya dan didukung dengan surat pelepasan dari pemilik tanah sebelumnya. Namun, warga Wamena mengaku bahwa tanah itu dahulu ditimbun oleh orang tua mereka dan seharusnya menjadi milik mereka.
Pada 7 Januari 2025, sekitar pukul 21.00 WIT, kedua warga Wamena kembali mendatangi lokasi tersebut untuk meminta kejelasan. Ketika pemilik lahan, yang diketahui adalah seorang pendeta, tidak menunjukkan bukti kepemilikan berupa surat pelepasan dan sertifikat, warga Wamena merasa geram dan menamparnya.
Teriakan sang pendeta menarik perhatian warga sekitar, yang kemudian mengeroyok kedua warga Wamena tersebut hingga salah satu mengalami luka berat. Keesokan harinya, pendeta tersebut melaporkan insiden tersebut ke pihak kepolisian.
Pada 9 Januari 2025, pihak kepolisian mengadakan mediasi antara kedua belah pihak. Dalam mediasi tersebut, pendeta akhirnya menunjukkan bukti surat pelepasan lahan yang ia miliki.
Ternyata, dokumen tersebut memiliki tanggal penerbitan yang lebih dulu dibandingkan klaim warga Wamena.
Meskipun demikian, pihak warga Wamena tetap meminta biaya pengobatan sebesar Rp 200 juta atas penganiayaan yang mereka alami, namun pendeta tidak sanggup memenuhinya.
Pihak kepolisian menyarankan agar warga Wamena melaporkan pengeroyokan yang mereka alami secara hukum, tetapi mereka menolak dan hanya menginginkan ganti rugi biaya pengobatan.
Beberapa hari setelah kejadian, salah satu korban pengeroyokan dari warga Wamena dilaporkan meninggal dunia. Keluarga korban pun melaporkan kejadian ini ke polisi. Namun, jenazah tidak sempat diotopsi karena pihak keluarga menolak prosedur tersebut dan langsung membawa jenazah untuk dimakamkan.
Setelah kematian korban, pihak Babinkamtibmas kembali mengundang kedua belah pihak untuk melakukan mediasi terkait kejadian tersebut. Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga korban meminta ganti rugi berupa uang “Bayar kepala” sebesar Rp 1,5 miliar. Namun, permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak pendeta, sehingga kepolisian menyarankan warga Wamena membawa kasus ini ke jalur hukum.