JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel diperkirakan bakal memberikan tekanan baru terhadap neraca perdagangan Indonesia. Ancaman utama datang dari potensi penutupan Selat Hormuz, salah satu jalur pengiriman energi paling vital di dunia.
Hasran, Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mengingatkan bahwa terganggunya distribusi energi global akan berdampak pada naiknya ongkos logistik internasional. Hal ini berisiko menekan performa ekspor Indonesia yang selama ini menopang surplus neraca perdagangan.
“Bila kapal-kapal harus memutar lewat jalur alternatif, biayanya jauh lebih mahal. Ini tentu berdampak langsung pada efisiensi pengiriman dan harga barang,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Selat Hormuz, yang dilalui hampir seperlima dari total pasokan minyak global, kini menjadi titik krusial dalam ketegangan geopolitik. Gangguan di kawasan ini bisa menurunkan aktivitas ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia, seperti Tiongkok, Jepang, dan India—yang sangat tergantung pada impor energi.
Surplus Dagang Bisa Terancam
Kinerja ekspor Indonesia sebenarnya sedang berada di jalur positif. Mei 2025 lalu, surplus perdagangan tercatat mencapai US$ 4,9 miliar—lonjakan tajam dibanding bulan sebelumnya yang hanya mencatat surplus US$ 160 juta.
Namun Hasran menilai, tekanan eksternal seperti krisis geopolitik dan lonjakan harga minyak bisa mengubah arah tren tersebut. Sebab, biaya energi menyumbang sekitar 50% hingga 60% dari total operasional pengiriman barang via laut.
“Dengan ongkos kirim yang melonjak, margin keuntungan eksportir Indonesia akan makin tipis, terutama pada komoditas seperti tekstil, alas kaki, furnitur, hingga komponen elektronik,” paparnya.
Negara tujuan utama ekspor Indonesia—Tiongkok, AS, Jepang, dan India—terancam mengalami perlambatan permintaan akibat terganggunya aktivitas industri mereka. Jika situasi ini berlangsung lama, maka efek domino terhadap perdagangan global akan semakin nyata.
Dorongan Mitigasi dan Diplomasi
Menurut Hasran, pemerintah perlu bersikap proaktif dalam mendorong diplomasi internasional agar ketegangan di Timur Tengah tidak berlarut-larut. Sebab selain faktor keamanan, konflik ini juga punya dimensi ekonomi yang sangat luas dampaknya.
“Stabilitas jalur energi global adalah urat nadi perdagangan internasional. Jika distribusi energi terganggu, maka rantai pasok berbagai sektor ikut terguncang,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya reformasi kebijakan dalam negeri, terutama di sektor impor pangan dan barang strategis. Hambatan nontarif seperti kuota, izin berlapis, dan regulasi yang rumit harus dievaluasi agar tidak menambah beban di tengah kenaikan biaya logistik global.
“Sudah saatnya kita berpikir efisien. Hambatan administratif yang tidak relevan hanya membuat jalur distribusi makin mahal dan lambat,” tegasnya.
Hasran menilai, jika penutupan Selat Hormuz hanya bersifat jangka pendek, dampaknya terhadap Indonesia masih bisa ditanggulangi. Namun jika berlangsung lebih lama, maka sektor ekspor-impor nasional bisa terguncang cukup dalam.
Kewaspadaan dan Aksi Nyata
Situasi geopolitik global saat ini menuntut pemerintah Indonesia untuk lebih waspada. Tak hanya fokus pada stabilitas politik luar negeri, tapi juga memperkuat ketahanan perdagangan dalam negeri.
“Semakin cepat pemerintah bertindak, baik di jalur diplomatik maupun kebijakan domestik, semakin kecil risiko yang harus ditanggung pelaku usaha dan konsumen di dalam negeri,” pungkasnya. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.