SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Tak banyak yang tahu, di Pulau Jawa ternyata terdapat sembilan tempat yang menyandang nama Wonosari. Nama ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan menyimpan jejak makna yang lebih dalam: sejarah, ekologi, dan kebudayaan yang terpatri dalam satu kata.
Dari barat hingga timur Jawa, Wonosari hadir sebagai nama ibu kota kabupaten, kecamatan, hingga desa. Meski tersebar di wilayah yang berjauhan, nama-nama itu seolah diikat oleh benang merah dalam lanskap budaya Jawa—penamaan yang mencerminkan hubungan erat masyarakat dengan alam dan zaman yang mengitarinya.
Representasi paling menonjol tentu ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tempat Wonosari menjadi ibu kota Kabupaten Gunungkidul. Nama ini barangkali paling dikenal secara nasional karena perannya dalam narasi pembangunan, kekeringan, hingga pariwisata. Namun, nama itu tak hanya eksis di Gunungkidul. Di Jawa Tengah, nama ini muncul di Klaten, Temanggung, Pekalongan, Pati, dan Banjarnegara. Sementara di Jawa Timur, Wonosari menjadi nama kecamatan di Malang dan desa di Bondowoso.
Fenomena ini memantik tanya: mengapa satu nama dapat tersebar begitu luas?
Menurut ahli toponimi, nama-nama tempat di Jawa sering berakar pada kondisi geografis atau nilai simbolik. Dalam bukunya Toponimi dan Sejarah Nama Tempat (Depdikbud, 1995), M. Adnan S. menulis, “Toponimi bukanlah sekadar penamaan, tetapi merupakan ungkapan kolektif masyarakat terhadap ruang, nilai, dan identitas.” Nama “Wonosari” berasal dari kata “Wana” (hutan) dan “Sari” (inti atau esensi), sehingga secara harfiah dimaknai sebagai “inti dari hutan” atau “hutan yang kaya.”
Ada pula tafsir lain yang menyebutkan bahwa Wonosari merupakan gabungan dari “Wono” (hutan) dan “Asri” (indah), menggambarkan kawasan yang sejuk, subur, dan harmonis. Tafsir ini memperkuat dugaan bahwa tempat-tempat bernama Wonosari dulunya merupakan kawasan hutan yang produktif dan memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat setempat.
Sejalan dengan tradisi masyarakat Jawa, penamaan tempat sering mencerminkan keharmonisan dengan alam. Seperti dicatat Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984), masyarakat Jawa menghargai keselarasan dengan lingkungan—nilai yang kerap tercermin dalam nama-nama wilayah.
Namun, toponimi bersifat dinamis. Nama Wonosari kini menjelma menjadi ruang sosial baru yang terus berkembang. Di Malang, Kecamatan Wonosari tumbuh sebagai wilayah pertanian dan permukiman. Sementara di Gunungkidul, Wonosari menjadi pusat pemerintahan sekaligus gerbang pariwisata. Di desa-desa seperti Wonosari di Temanggung atau Pekalongan, nama tersebut tetap menjadi bagian penting dari identitas administratif yang diwariskan turun-temurun.
Penamaan yang berulang ini juga mencerminkan jejak migrasi internal dan simbolisme budaya. Dalam The Religion of Java (1960), Clifford Geertz mencatat bahwa masyarakat Jawa memiliki ikatan emosional kuat terhadap tanah kelahiran. Maka tak jarang, saat berpindah, mereka menyematkan nama-nama yang familiar sebagai bentuk pengingat atas “rumah pertama.”
Nama “Wonosari” pun menjelma menjadi simbol lintas generasi. Ia mencerminkan denyut kebudayaan yang terus bergerak, namun tetap berakar. Jika ditarik dalam peta sebaran, Wonosari tampak bertebaran dari timur ke barat Jawa, seolah menjadi simpul ingatan kolektif masyarakat di berbagai penjuru.
Di Jawa Tengah, Wonosari ditemukan di Klaten (Polanharjo), Temanggung (Bulu), Pekalongan (Karanganyar), Pati (Tlogowungu), dan Banjarnegara (Banjarmangu). Di Jawa Timur, nama ini hadir sebagai kecamatan di Malang dan desa di Bondowoso. Dan tentu saja, yang paling dikenal luas adalah Wonosari di Gunungkidul, DIY.
Peta sebaran ini menunjukkan bahwa Wonosari bukan sekadar warisan linguistik, tetapi juga penanda kontinuitas budaya. Menariknya, meski bernama sama, tiap Wonosari tumbuh dengan jati diri dan peran lokal yang berbeda.
Di Gunungkidul, Wonosari menjadi wajah baru modernisasi. Pasar tradisional yang ramai, jalan-jalan lebar, dan posisinya sebagai jalur utama menuju pantai selatan membuatnya menjadi simpul pertumbuhan ekonomi. Dalam Wonosari dalam Lintasan Sejarah (Sudarsono, 2008), disebutkan bahwa “dulu nama Wonosari identik dengan keterpencilan, kini menjadi pintu gerbang wisata kelas dunia.”
Sebaliknya, Wonosari di Malang lebih menonjolkan karakter pertanian dengan komoditas hortikultura yang kuat. Meski demikian, wilayah ini juga menghadapi tantangan urbanisasi dari Kota Malang dan Kepanjen. Adapun Wonosari di Temanggung dan Pati merepresentasikan desa-desa dengan nilai-nilai lokal yang masih lekat dan semangat gotong royong yang hidup.
Toponimi ini juga bisa menjadi cermin ketimpangan pembangunan. Saat satu Wonosari tumbuh sebagai simpul infrastruktur, yang lain masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar seperti akses air bersih atau layanan pendidikan. Dalam Geografi dan Ketimpangan Wilayah (Soemarwoto, 2003), disebutkan bahwa “nama tempat bisa menyatukan secara simbolik, tetapi kenyataan fisiknya tetap ditentukan oleh sejarah kebijakan pembangunan.”
Dalam semesta nama-nama di Pulau Jawa, Wonosari menyimpan kisah yang melampaui fungsinya sebagai penanda lokasi. Ia menjadi bukti bahwa bahasa, ruang, dan identitas masyarakat saling berkelindan, membentuk wajah-wajah baru Jawa yang terus bergerak—dari hutan yang sunyi menuju pusat kehidupan yang dinamis. Begitulah kira-kira. [Hamdani MW]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.