Dikira Memulung, Ternyata Sejumlah Warga Garut Memang Bantu TNI Musnahkan Amunisi

13 hours ago 5
Lokas peledakan amunisi kedaluwarsa yang menewaskan 13 orang termasuk anggota TNI dan warga sipil di wilayah Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Senin (12/5/2025) | tribunnews  

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemerintah Desa Sagara membenarkan bahwa warga sipil memang dilibatkan dalam proses pemusnahan amunisi di kawasan Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (12/5/2025). Hal itu disampaikan oleh aparatur desa setempat, Doni David.

“Masyarakat memang dilibatkan dalam proses itu, bukan hanya menggali lubang, tapi dari mulai memilah hingga menyusun amunisi yang akan dimusnahkan,” ungkap Doni kepada wartawan, Selasa (13/5/2025).

Keterlibatan warga, menurut Doni, bukan hal baru. Warga setempat memang selama ini dipercaya oleh pihak TNI untuk membantu proses pemusnahan amunisi, meski tugas mereka bersifat teknis dan terbatas.

Pernyataan ini sekaligus menjawab beredarnya video di media sosial yang memperlihatkan seorang warga bernama Rustiawan bersama sejumlah rekannya tengah menyiapkan amunisi yang akan diledakkan. Video tersebut memunculkan spekulasi bahwa warga terlibat sebagai pemulung di lokasi kejadian.

“Kami dari pemerintahan desa tidak menerima warga kami dianggap memulung. Tidak mungkin mereka memulung karena lokasi itu dijaga ketat. Apalagi dalam kejadian ini juga ada prajurit TNI yang menjadi korban,” tegas Doni.

Ia pun menyampaikan duka mendalam atas insiden tragis yang menewaskan 13 orang, terdiri dari empat prajurit TNI dan sembilan warga sipil. “Kami turut berduka cita atas kejadian ini. Semoga amal ibadah para korban diterima di sisi Allah,” imbuhnya.

Saat ini, pihak keluarga korban masih menunggu hasil identifikasi jenazah di RSUD Pameungpeuk, Garut.

Sementara itu, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto menyoroti lemahnya penerapan standar operasional prosedur (SOP) dalam kegiatan pemusnahan amunisi tersebut.

Menurutnya, seharusnya warga sipil dilarang keras berada di sekitar lokasi peledakan. Namun karena pembiaran, masyarakat menjadi terbiasa mendekat ke lokasi setelah ledakan terjadi.

“Nah, mengapa warga sipil bisa sampai ke sana? Karena tentara ini terlalu baik hati. Dibiarin saja,” ujar Soleman.

Ia juga menyinggung pernyataan Kapuspen TNI yang menyebut bahwa warga kerap mengambil sisa-sisa kuningan atau logam dari lokasi ledakan untuk dijual. “Saya yakin ada SOP-nya. Mereka tidak boleh ada di situ. Tapi karena keseringan, lama-lama jadi dibiarkan. Ini lah risikonya. Kalau tentara tegas, dimusuhi. Kalau diberi kesempatan, bisa begini jadinya,” tuturnya.

Keterangan dari warga setempat turut menguatkan temuan tersebut. Heri Supriyadi (47), salah satu warga, mengungkap bahwa tiap kali ada pemusnahan amunisi, sebagian warga memang mengambil serpihan sisa ledakan untuk dijual ke pengepul.

“Betul, jadi warga ambil serpihan itu dan dijual. Tapi sebelumnya juga sudah diimbau agar jangan mendekat dulu,” kata Heri.

Harga logam sisa ledakan, menurut Heri, bisa mencapai Rp 6.000 per kilogram. Logam jenis kuningan dan aluminium bahkan dihargai lebih tinggi. Meski begitu, ia mengakui ada warga yang tetap nekat masuk ke lokasi sebelum waktunya.

“Tanah masih panas. Sebenarnya harus nunggu beberapa jam. Ada yang nurut imbauan petugas, ada juga yang nakal,” ujarnya.

Insiden ledakan kali ini menjadi pengingat keras soal pentingnya penerapan disiplin SOP, khususnya dalam melibatkan unsur nonmiliter dalam kegiatan yang sangat berisiko.  

www.tribunnews.com

Read Entire Article
Politik | Local| Daerah| Finance| Sport|